Teman-teman saya, para pemimpin media, sedang gundah gulana. Bisnis di industri ini sedang tidak mudah. Tantangannya kompleks.
Mula-mula adalah dampak dari disrupsi teknologi. Yang mengubah drastis perilaku pembaca dan pengiklan. Ini belum ketemu solusinya. Lalu kini, datanglah si sontoloyo: Covid-19.
Maka, digelarlah acara diskusi daring, membahas dampak Covid-19 terhadap keberlangsungan industri media. Acaranya Rabu (14/7), malam. Via aplikasi Zoom Meeting.
Diskusi berlangsung lebih dari 3 jam. Tak biasa diskusi daring berlama-lama seperti itu. Dan berlanjut di grup whatsapp.
Dan nggak ketemu pula solusi yang cespleng. Yang membuat semua optimis dan yakin. Kecuali, solusi yang selalu klasik: lebih inovatif dan lebih kreatif. Juga efisiensi di segala lini.
Tahan agar revenue tidak terjun bebas, sekaligus kendalikan cost: pangkas biaya.
Biar bottom line tidak ikutan terpuruk, dan cashflow tetap terjaga. Dan, kalau sudah tak kuat lagi, apa boleh buat, karyawan dirumahkan, atau di-PHK.
Itulah yang terjadi hari-hari ini. Di banyak sektor industri. Sebutlah mulai dari industri manufaktur, industri ritel, juga industri hospitality.
Bahkan, rumah sakit pun kehilangan banyak pasien, gara-gara orang takut pergi ke rumah sakit. Takut tertular virus Corona.
Industri hotel relatif paling terpukul. Banyak hotel bahkan tutup selama pandemi.
Industri penerbangan begitu pula. Kenalan saya, seorang pilot di maskapai penerbangan, saat mulai pelonggaran PSBB, batal terbang karena "no-op", alias no-operation. Itu istilah mereka, menandakan tak ada penumpang. Orang masih takut-takut naik pesawat, kecuali kepepet.
Baru belakangan, setelah dipastikan prosedur naik pesawat aman dengan protokol Covid yang lebih ketat, penumpang sudah mulai lumayan.
Di Garuda, sebagian rute gemuk sudah mendapatkan penumpang rata-rata mendekati 70% kapasitas.
Dari penjelasan Dirut Garuda Irfan Setiaputra di media, revenue Garuda sudah merangkak naik mencapai 20%. Relatif lebih baik ketimbang di April-Mei-Juni lalu, yang hanya 10% dibandingkan sebelum pandemi.
Angkutan massal di darat juga serupa. PT Kereta Api Indonesia, misalnya. Sebelum pandemi Covid-19, KAI mampu mengantongi pendapatan rata-rata dari penumpang hingga Rp25 miliar per hari. Namun, saat pandemi Covid ini anjlok drastis. Pada saat PSBB April-Mei lalu, pendapatan PT KAI rata-rata tinggal Rp400 juta per hari.
Setelah pelonggaran PSBB pun belum beranjak naik. Kemarin saya tanya langsung ke Didiek Hartantyo, CEO PT KAI. "Secara average masih relatif sama sekitar Rp 400 juta per hari," kata Pak Didiek.
Saya menduga, penumpang masih takut untuk bepergian menggunakan moda angkutan massal.
Mei lalu, saat kami berdiskusi, Pak Didiek memang sudah memprediksi soal itu. Karenanya, Didiek telah menyiapkan beberapa skenario, terutama memastikan cashflow dan likuiditas tetap aman.
Prinsip cash is the king kian terbukti dalam situasi kepepet seperti saat ini.
Selain itu tentu banyak langkah efisiensi dan pengurangan biaya terhadap pos-pos yang memungkinkan.
Yang pasti, Pak Didiek akan terus berupaya melakukan stabilisasi revenue dengan berbagai cara untuk mengimbangi penurunan penumpang yang diprediksi berlangsung hingga akhir tahun.
Untungnya, angkutan barang masih positif. Meski turun dari rata-rata Rp1,2 triliun per bulan, angkutan barang melalui kereta masih mampu menyumbang pendapatan ratusan miliar sebulan saat pandemi ini.
Kabar baiknya, karyawan PT KAI masih beruntung, karena manajemen tak sampai melakukan PHK. Manajemen juga tetap membayar penuh gaji karyawan.
***
Memang, bila melihat dampaknya ke ekonomi, Covid-19 ini benar-benar sontoloyo.
Untuk tidak berpanjang cerita, di luar contoh-contoh di atas, masih banyak ilustrasi lain sebenarnya.
Tetapi lihat saja secara agregat. Kisah Singapura menjadi contoh yang sangat nyata.
Ekonomi negeri jiran itu anjlok 41,2 persen pada kuartal II tahun ini, setelah pandemi Covid-19 menghalangi mobilitas manusia, barang dan jasa seluruh dunia.
Singapura sangat terpukul. Pasalnya, "negeri transit" itu sangat tergantung terhadap perjalanan wisata dan perdagangan internasional, mengingat penduduk domestiknya hanya sekitar 6 juta jiwa.
Negeri itu mencatatkan resesi karena sejak kuartal pertama telah tumbuh negatif. Hingga akhir tahun, perekonomian Singapura diproyeksikan terkoreksi hingga -7%. Ini akan tercatat sebagai resesi terburuk sejak negeri itu merdeka pada 1965.
Sedangkan perekonomian Indonesia, meski belum mencatatkan resesi, telah mengalami tekanan besar hingga kuartal kedua tahun ini. Setelah tumbuh hanya 2,97% pada kuartal pertama, ekonomi Indonesia diperkirakan akan anjlok hingga -4,3% pada kuartal kedua tahun ini.
Maka untuk mencegah resesi, mau tak mau pemerintah haruslah all out untuk meramu kebijakan dan strategi yang lebih efektif pada periode Juli-September ini agar bisa kembali tumbuh positif.
Indonesia beruntung punya kapasitas domestik yang besar, dengan konsumen 270 juta jiwa lebih. Selama 30 minggu terakhir akibat pandemi Covid, merujuk data Bappenas, ekonomi Indonesia kehilangan konsumsi sedikitnya Rp1.100 triliun, akibat banyak orang "tinggal di rumah".
Maka, membangkitkan kembali konsumsi domestik inilah yang masih dapat diharapkan. Agar terbebas dari bayang-barang resesi.
Presedennya ada. China --dengan penduduk 1,3 miliar-- ternyata mampu tumbuh 3,2% pada kuartal kedua tahun ini, setelah cepat lepas dari jeratan pandemi Covid-19. Praktis, negeri itu terbebas dari bayang-bayang resesi.
***
Saya dapat cerita, Presiden Jokowi hanya mengundang 6 orang menteri pada Sidang Kabinet Terbatas Senin (13/7) lalu. Padahal, biasanya dihadiri banyak menteri.
Mungkin biar lebih fokus. Biar dapat menghasilkan kebijakan yang lebih efektif.
Yang pasti, situasi yang dihadap Indonesia saat ini memang sedang tidak mudah. Di saat sejumlah negara di Asia Tenggara sudah relatif tenang dan hampir 'terbebas' dari hantu sontoloyo Covid-19, kondisi Indonesia masih serba tidak pasti.
Kasus positif Covid-19 di Indonesia masih terus menanjak naik. Bahkan di Jakarta. Kasus meninggal pun masih terus bertambah.
Jelasnya, Indonesia kini menjadi episentrum baru pandemi Covid-19 di Asia Tenggara. Sementara Malaysia, Thailand dan bahkan Vietnam, sudah bisa kembali beraktivitas nyaris normal.
Hanya Filipina dan Singapura yang masih harap-harap cemas, meski tambahan kasus tidak sebanyak di Indonesia.
Dalam situasi ketidakjelasan semacam itu, desain kebijakan yang hendak dilancarkan pun, juga tidak mudah.
Dan terbukti, aneka stimulus ekonomi rupanya masih berada di atas kertas. Realisasi dan eksekusinya jauh panggang dari api.
Birokrasi pemerintah, tampaknya, masih mengidap kendala mentalitas. Kurang pragmatis. Masih "old-normal, alih-alih new normal". Tak berani ambil terobosan. Maka itu, Pak Jokowi marah-marah.
Saya mendapatkan cerita, kasus Covid-19 di Jawa Timur relatif mencemaskan, karena orientasinya masih mengandalkan kebijakan fiskal ketimbang social-movement. Kurang menggerakkan masyarakat: mengedukasi dan menyadarkan.
Maka ketika fiskalnya seret, ngadatlah upaya-upaya yang seharusnya dilakukan.
Padahal, pandemi Covid-19 ini lebih banyak menyerang "pikiran" sebagian besar orang Indonesia. Dan dunia. Sudah terlanjur menjadi top-of mind. Takut dan cemas.
Artinya, faktor-faktor yang membentuk mindset masyarakat itulah yang mesti disentuh ulang.
Biar orang tetap hati-hati dan perlu hati-hati dengan protokol Covid, tetapi nggak takut lagi. Yang nggak paham digerakkan agar disiplin terhadap protokol Covid, sehingga membuat yang lain merasa aman untuk beraktivitas.
Lalu kemudian berani jalan-jalan, dan mau belanja lagi. Karena mobilitas yang terhenti akibat pandemi inilah biang kerok utama penyebab ekonomi mati suri, karena konsumen diam di rumah, tak berani belanja, sehingga industri ritel nyaris terhenti. Juga yang lainnya.
Maka saya salut kepada Sigit Pramono, mantan bankir yang kini memimpin inisiatif Gerakan Pakai Masker. Agar masyarakat kembali produktif, sekaligus aman dari ancaman virus Corona.
Sepanjang keyakinan bahwa kondisi aman itu tidak terbangun dengan baik, akan selalu menyisakan kecemasan. Kecemasan inilah penghambat utama aktivitas ekonomi.
Lalu penting untuk menumbuhkan pragmatisme birokrasi. Orientasi fiskal dalam penanganan dampak Covid terbukti menjadi pemicu banyak masalah di lapangan.
Bantuan sosial yang disalurkan melalui banyak pintu kementerian, misalnya, menjadi tidak efektif, selain tumpang tindih dan kurang tepat sasaran.
Rasanya, pemerintah perlu mendisain ulang kebijakan bantuan sosial, jaring pengaman untuk yang kehilangan pekerjaan dan daya beli.
Penyaluran satu pintu, seperti program Jaring Pengaman Sosial di era krisis moneter 1998 lalu, mungkin akan lebih efektif.
Intinya, penting untuk memastikan agar kebijakan jaring pengaman ini lebih efektif dalam mendorong kembali daya beli kelompok masyarakat yang kehilangan penghasilan.
Saya ingat istilah yang sering dipakai Chatib Basri saat krisis 2008 lalu: Keep Buying Strategy.
Strategi menjaga daya beli untuk mereka yang kehilangan penghasilan, perlu terfokus dan terintegrasi. Tidak terpecah belah di banyak lembaga dan kementerian. Agar efektif memulihkan kembali ekonomi.
Intinya, kita butuh bantalan ganda sekaligus untuk mengatasi dampak ekonomi dari sontoloyo Covid-19 ini.
Upaya memompa daya beli bagi masyarakat yang kehilangan penghasilan, disertai upaya masif dan terstruktur untuk membangkitkan keberanian "belanja kembali" ke luar rumah dengan rasa aman dan nyaman.
Maka, bantalan ganda itu akan memperbesar harapan bagi percepatan pemulihan ekonomi. Agar terbebas dari bayang-bayang resesi.
Nah, bagaimana menurut Anda? (*)