Bisnis.com, JAKARTA — Penangkapan seorang karyawan outsourcing PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) yang membocorkan data pribadi Denny Siregar membuat publik bertanya-tanya seberapa jauh wewenang pekerja outsourcing dalam bekerja.
“Setahu saya pekerjaan yang berhubungan dengan data dan keuangan adalah pekerjaan inti, yang tidak boleh di-outsourcing. Tapi faktanya ini terjadi. Ini bukti bahwa pengawas ketenagakerjaan di Republik ini sangat lemah,” kata Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi), Timboel Siregar, dikutip dari keterangan resminya, Sabtu (11/7/2020).
Dirinya pun bercerita tengah membantu pekerja outsourcing di bagian keuangan sebuah perusahaan pengguna. Pekerja ini diakuinya memiliki kata sandi dan akses bebas terhadap data keuangan perusahan pengguna.
“Kok bisa pekerja outsourcing dikasih akses bebas terhadap laporan keuangan perusahaan user, padahal pekerja tersebut adalah pekerja perusahaan lain. Apakah perusahaan user tersebut tidak khawatir tentang data keuangan mereka?,” tekannya.
Namun, tentu saja kisah yang ia bagikan hanya menggambarkan sekelumit dari kisah pekerja outsourcing (alihdaya) dan perannya dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia.
Seperti diketahui, pemerintah bersikeras untuk meloloskan sistem kerja outsourcing tanpa lagi ada ketentuan pekerjaan inti atau penunjang di Rancangan Undang-undang Cipta Kerja.
Baca Juga
Menurutnya, ketentuan pasal 66 di UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 yang mensyaratkan pekerjaan penunjang yang boleh di-outsourcing akan diganti dengan ketentuan pekerja outsourcing bisa diberlakukan untuk seluruh jenis pekerjaan.
“Pokoke semuanya bisa di-outsourcing, sama seperti perusahaan user yang saya ceritakan di atas,” ujarnya.
Dia pun menjabarkan sejumlah dampak negatif jika rencana pemerintah untuk meliberalisasi tenaga outsourcing jadi dilakukan .
Pertama, data-data perusahaan user akan bisa dengan mudah diakses oleh pekerja perusahaan lain sehingga potensi kebocoran data akan semakin besar.
Kedua, pekerja outsourcing rentan pemutusan hubungan kerja (PHK). Akibatnya, hal ini akan mempermudah terpublikasinya data-data perusahaan pengguna oleh pekerja outsourcing tersebut.
“[Ketiga], potensi terjadinya diskriminasi akan besar mengingat pekerja yang bekerja di perusahaan user akan mengikuti peraturan perusahaan outsourcing, bukan peraturan perusahaan user," tambahnya.
Keempat, dia mengemukakan pekerja akan sulit berserikat mengingat rentan di-PHK dan perusahaan yang menyuplai pekerja bisa saja memiliki pekerja di bawah 10 orang.
“Kalau pun memiliki jumlah pekerja lebih dari 10 orang dan tersebar bekerja di beberapa perusahaan maka pekerja tidak saling kenal dan berdampak sulit berserikat,” jelasnya.
Ketika pekerja tidak bisa berserikat, dia mengungkapkan pekerja juga akan sulit bernegoisasi. Negoisasi yang dimaksud di sini yang berbasis individu, bukan kolektif.
Kelima, eksploitasi terhadap pekerja outsourcing oleh perusahaan outsourcing akan semakin massif misalnya upah dipotong untuk biaya seragam, pelatihan, dan sebagainya.
Selain itu, Timboel menilai liberalisasi pekerjaan outsourcing juga akan berakibat dengan semakin banyaknya pekerja yang tidak didaftarkan pada program jaminan sosial.
“Dengan fakta-fakta tersebut, seharusnya pemerintah coba berpikir ulanglah untuk merevisi pasal 66 tentang outsourcing secara lebih liberal. Perusahaan user dan pekerja akan berpotensi menjadi korban,” ungkapnya.