Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Denny Vissaro

Research Coordinator DDTC Fiscal Researc

Denny Vissaro adalah Research Coordinator DDTC Fiscal Research. Dia meraih gelar sarjana nndari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dan menuntaskan kuliah pasca nnsarjanan dari kampus yang sama. Dia juga meraih gelas master dari Erasmus University nnRotterdam Belanda

Lihat artikel saya lainnya

Insentif Pajak Kurang Dilirik karena Abaikan 6 Faktor ini

Belum seluruh wajib pajak memanfaatkan insentif tersebut. Menurut pernyataan Menkeu Sri nMulyani per 27 Juni 2020, serapan dari insentif masih sebesar 10,14% atau sekitar Rp12,2 ntriliun. Tentu ini menimbulkan pertanyaan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) bersama dengan Direktur Jenderal Pajak (DJP) Suryo Utomo (kiri) menjawab pertanyaan wartawan usai melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan di Kantor DJP, Jakarta, Selasa (10/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) bersama dengan Direktur Jenderal Pajak (DJP) Suryo Utomo (kiri) menjawab pertanyaan wartawan usai melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan di Kantor DJP, Jakarta, Selasa (10/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Melemahnya kinerja penerimaan pajak tampaknya tidak menghilangkan kemauan pemerintah untuk
meringankan beban wajib pajak di masa pandemi ini. Melalui Perpres Nomor 72 Tahun 2020,
pemerintah memperpanjang beberapa insentif pajak yang semula berakhir September hingga
akhir tahun.

Tidak tanggung-tanggung, sebagaimana dilansir Kemenkeu, total insentif pajak yang disiapkan
pemerintah untuk dunia usaha adalah sebesar Rp120,6 triliun. Tentunya ini menguatkan sinyal
bahwa instrumen pajak selalu hadir dan berperan penting bagi ekonomi nasional (Darussalam,
2020).

Meski demikian, ternyata belum seluruh wajib pajak memanfaatkan insentif tersebut. Menurut
pernyataan Menkeu Sri Mulyani per 27 Juni 2020, serapan dari insentif masih sebesar 10,14%
atau sekitar Rp12,2 triliun. Tentu ini menimbulkan pertanyaan.

Mengapa paket insentif yang tersedia saat ini kurang diminati wajib pajak? Aspek apa saja
yang perlu dipertimbangkan jika periode pemanfaatan diperpanjang?

Mengutip hasil penelitian DDTC Fiscal Research (2020), sebenarnya tren relaksasi pajak di Indonesia tidak kalah dengan tren global, terutama untuk meningkatkan arus kas perusahaan serta menangguhkan kewajiban administrasi wajib pajak.

Sejak Maret, pemerintah juga telah bereaksi cepat merilis berbagai insentif seiring dengan
dinamika perekonomian nasional. Dengan demikian, ada kemungkinan insentif yang saat ini
diberikan belum bersifat final atau masih bisa diubah/tambah.

Setidaknya, ada enam hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah untuk menjamin keberhasilan
insentif pajak, baik dari sisi serapan maupun efektivitas.

Pertama, dibutuhkan pemahaman bersama bahwa pada masa krisis, turunnya penerimaan pajak
secara temporer masih lebih baik daripada kehilangan basis pajak secara permanen (Ayumi,
2020). Artinya, pemerintah harus mencegah terjadinya penutupan kegiatan usaha, pemutusan
hubungan kerja, atau pergeseran ke arah ekonomi informal.

Jika basis pajak hilang secara permanen, pemerintah akan lebih sulit meningkatkan tax ratio
pada fase pascakrisis. Oleh karena itu, insentif pajak, walaupun melemahkan penerimaan
jangka pendek, merupakan strategi kunci mempertahankan kesinambungan fiskal jangka
menengah.

Kedua, desain insentif pajak yang lebih efektif dan tepat guna. Pertanyaan yang harus kita
jawab bersama ialah bagaimana desain insentif pajak yang ideal dan dapat berdampak positif
bagi kelangsungan kegiatan ekonomi wajib pajak?

Dalam konteks ini, perumusan kebijakan yang partisipatif perlu dikedepankan. Hal tersebut akan membuka peluang varian insentif pajak (scheme), durasi yang tepat, serta
memprioritaskan pada sektor yang terdampak dan/atau memberi daya ungkit ekonomi yang lebih
besar (well-targeted).

Ketiga, kemudahan pemanfaatan implementasi.Pada umumnya, rumitnya persyaratan dan tahapan
insentif pajak akan menimbulkan keengganan wajib pajak untuk memanfaatkannya (Abeler dan
Jager, 2015). Oleh karena itu, IMF (2020) menganjurkan agar ketentuan insentif pajak di
masa pandemi dapat diberlakukan secara otomatis tanpa perlu ada pengajuan administrasi yang
rumit.

Keempat, sosialisasi. Salah satu tantangan sektor pajak Indonesia ialah rendahnya literasi
pajak masyarakat. Dengan demikian, ada dugaan bahwa banyak wajib pajak tidak menyadari
bahwa dirinya berhak atas fasilitas pajak yang disediakan. Penyebaran informasi dan
literasi aturan pajak juga lebih sulit dilakukan di tengah pandemi ketimbang saat kondisi
normal.

Sosialiasi yang lebih gencar mutlak dibutuhkan. Hal ini mencakup komunikasi dan panduan
lebih detail mengenai insentif yang diberikan. Dalam konteks ini, DJP tidak bisa dibiarkan
sendirian. Dukungan dari berbagai pihak, yaitu kampus, konsultan pajak, dan asosiasi bisnis
mutlak diperlukan.

Kelima, akuntabilitas. Owens dan Schlenther (2020) menyampaikan bahwa terdapat kemungkinan
adanya pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan dan menyalahgunakan insentif
pajak.

Oleh karena itu, kegiatan monitoring akuntabilitas pemanfaatan insentif pajak perlu
tetap dipertahankan.

Selain itu, kehadiran laporan belanja perpajakan yang andal justru kian relevan. Laporan
tersebut nantinya juga bisa digunakan untuk mengevaluasi efektivitas berbagai insentif
pajak di kala pandemi.

Keenam, merancang peta jalan relaksasi pajak selama lima tahun mendatang. Pada jangka
menengah, upaya membenahi kinerja penerimaan pajak harus tetap memperhatikan kondisi
ekonomi yang belum sepenuhnya stabil.

Lantas bagaimana? Ada baiknya, pemerintah mengubah paradigma relaksasi pajak. Dari relaksasi
yang bersifat insentif pengurangan beban pajak menjadi relaksasi yang mengedepankan aspek-
aspek kepastian dalam sistem pajak (Darussalam, 2020).

Sebagai penutup, respons cepat pemerintah di bidang insentif pajak harus diacungi jempol.
Namun, perkembangan ekonomi yang bergerak cepat jelas membutuhkan ruang untuk terobosan
lanjutan.

Hal ini sebagaimana pidato Presiden Jokowi di hadapan jajaran menterinya. Situasi extraordinary jelas membutuhkan solusi yang juga extraordinary.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Denny Vissaro
Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper