Sementara dunia usaha mencoba bangkit dari kesulitan ekonomi yang dipicu oleh penyebaran pandemi Covid-19, Indonesia dan Australia sedang bersiap memasuki babak baru hubungan ekonomi bilateral dengan diberlakukannya Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IACEPA) atau Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif mulai 5 Juli 2020.
Menteri Perdagangan kedua negara menyepakati hal ini ketika bertemu secara daring pada 19 Mei 2020 di saat proses ratifikasi perjanjian telah sama-sama diselesaikan dan persiapan teknis telah memasuki tahap akhir.
Negosiasi perjanjian dagang ini berlangsung selama tujuh tahun dan mulai dirundingkan pada 2012. Sempat terhenti pada 2013- 2016 sebelum disepakati pada 2019. IACEPA dapat dianggap sebagai perjanjian yang lebih lengkap dan lebih dalam dari perjanjian bilateral yang telah dimiliki Indonesia.
Dunia usaha kedua negara kini sangat berharap supaya perjanjian ini segera diimplementasikan agar manfaatnya dapat dipetik, terutama untuk membantu proses pemulihan ekonomi melalui kolaborasi bisnis berdasarkan prinsip saling percaya, saling menghargai dan saling menguntungkan.
Namun apa sebenarnya daya tarik IACEPA bagi Indonesia dibanding dengan perjanjian serupa lainnya? IACEPA menawarkan peluang akses pasar barang, jasa dan investasi dua arah yang luas. Seluruh produk Indonesia ke Australia akan mendapat perlakuan tarif 0%, dan sebaliknya sebagaian besar produk Australia akan menerima pembebasan tarif di Indonesia. Hal ini ditujukan untuk memperkuat jalinan mata rantai pasok kedua negara.
Australia menyediakan bahan baku industri makanan dan olahan di Indonesia seperti gandum, gula, daging sapi dan buah-buahan sub tropis, baik untuk kebutuhan domestik maupun bahan baku ekspor. Di sisi lain Indonesia dapat mengisi pasar Australia dengan produk-produk manufaktur seperti televisi, ban dan aksesoris mobil, produk olahan kayu, dan produk olahan perikanan, bahkan kelak kendaraan listrik.
Perdagangan yang bersifat komplementer ini tentu dapat mendongkrak kinerja perdagangan kedua negara yang saat ini hanya mencapai US$8,6 miliar, jauh di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Potensi perdagangan jasa pun terbuka lebar. Statistik menunjukkan bahwa Indonesia menikmati surplus perdagangan jasa dengan Australia, terutama karena didukung arus turis yang kuat dari negeri Kanguru. Namun tentu kita tidak dapat terus mengandalkan satu sektor saja seperti turisme terhadap Australia. Indonesia berpeluang untuk memenangkan sektor transportasi udara dan laut, komunikasi, perdagangan, jasa keuangan dan asuransi.
Pada beberapa sektor jasa, Indonesia memerlukan investasi guna meningkatkan kapasitasnya. Sesuai instruksi Presiden, kedua delegasi perunding sepakat untuk mendorong investasi di sektor perguruan tinggi, kesehatan, pariwisata, telekomunikasi dan jasa logistik di Indonesia. Beberapa universitas terkemuka di Australia telah menyatakan minatnya membuka kampus di Indonesia, sehingga mahasiswa Indonesia tidak harus ke Australia untuk mendapatkan pendidikan kelas dunia.
Hal menarik lainnya dari IACEPA adalah kesepakatan kedua negara untuk mendorong kerja sama ekonomi. Tiga sektor menjadi prioritas, yaitu industri pangan, industri maju dan penguatan sumber daya manusia (SDM). Untuk industri pangan, kedua negara sepakat mengembangkan konsep power house.
Salah satu di antaranya adalah industri pengolahan daging dan sereal dimana Indonesia menggunakan bahan baku daging dan biji-bijian dari Australia untuk diolah menjadi produk jadi guna diekspor ke kawasan Asean, Timur Tengah dan China. Dengan kata lain, kedua negara akan mengkombinasikan keunggulan masing-masing untuk merambah pasar regional dan global.
Sementara itu, kerja sama advanced manufacture khususnya didorong untuk membangun industri mobil listrik di Indonesia guna menjawab demand di pasar Australia dan negara maju lainnya. Di sinilah kerja sama terkait standar, baik produk maupun profesi menjadi bagian penting dari program IACEPA, sehingga akses pasar barang dan jasa yang semakin terbuka itu dapat dinikmati Indonesia.
Manfaat lainnya adalah kerja sama peningkatan kapasitas SDM Indonesia. Kedua negara akan mengembangkan program pertukaran tenaga ahli profesional selama enam bulan dan program magang di sembilan sektor, yaitu pendidikan, pariwasata, telekomunikasi, pengembangan infrastruktur, kesehatan, energi, pertambangan, jasa keuangan, dan ekonomi digital.
Australia juga akan memberikan kesempatan lebih luas bagi program kunjungan sambil bekerja, yang memberikan pengalaman dan wawasan bagai anak-anak muda Indonesia.
Akan dikembangkan pula program pelatihan blended learning, kursus intensif maupun pendidikan secara daring. Semua program pelatihan ini akan disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan prioritas Indonesia di bawah koordinasi Bappenas dan melibatkan kementerian dan lembaga lain termasuk Kadin Indonesia.
Kedua negara sepakat untuk memperkuat kerja sama pilar ekonomi melalui wadah IACEPA. Tentu saja, ini dapat berjalan sesuai rencana bila Jakarta dan Canberra fokus pada pelaksanaan komitmennya masing-masing. Pelibatan pelaku usaha, pelajar, akademisi, masyarakat madani, turis dan masyarakat pada umumnya juga akan menjadi penentu apakah IACEPA ini dapat menjadi sebuah perjanjian yang adil dan saling menguntungkan.
IACEPA dapat menjadi basis yang kuat untuk membangun hubungan dua negara bertetangga ini ke tahapan yang lebih matang. Meminjam istilah Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, kita harus mengubah strategic deficit menjadi strategic trust dalam hubungan dengan Australia.
Kerangka kerja sama ekonomi bilateral telah tersedia untuk membangun trust itu, dan kita harus memanfaatkannya sebagai ‘katapel’ untuk keluar dari pelemahan ekonomi nasional, regional dan global. Semoga kita bisa.