Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad mengatakan Indonesia berpotensi mengalami resesi ekonomi akibat pandemi virus Corona (Covid-19).
"Kuartal II/2020, skenario PDB [produk domestik bruto] sangat berat sekali bisa kontraksi 0,96 persen. Konsumsi rumah tangga kontraksi 2,08 persen, investasi anjlok 5,4 persen, hanya konsumsi pemerintah tumbuh 1,8 persen," kata Tauhid ketika dihubungi Bisnis, Minggu (14/6/2020).
Dia mengatakan semua indikator perekonomian pada kuartal II/2020 diprediksi akan merah. Menurutnya, kontraksi paling dalam memang diramal terjadi pada kuartal II dan III pada tahun ini.
Penurunan indikator tersebut, imbuhnya, membuat pemerintah mau tak mau menggelontorkan dana besar untuk pemulihan ekonomi nasional (PEN). Apalagi, dana stimulus Covid-19 terus melonjak dari Rp430 triliun menjadi Rp634 triliun, dan terakhir Rp688 triliun.
Meski demikian, Tauhid menilai anggaran tersebut tidak akan meningkat meskipun efek domino akibat Covid-19 telah menyerang hampir seluruh sendi perekonomian di dalam negeri.
"Pemerintah bukan tidak mau naikkan dana PEN, tetapi enggak ada anggaran," ungkapnya.
Baca Juga
Pelebaran defisit APBN 3 persen menjadi 6,27 persen. Menurutnya, pemerintah saat ini bisa bernapas lega karena adanya stimulus moneter, yaitu quantitative easing yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI).
Salah satu kebijakan yang berpengaruh adalah BI bisa membeli surat berharga negara (SBN) di pasar primer secara legal karena telah diatur dalam UU No.2/2020.
"Kesulitan keuangan yang dialami pemerintah sangat besar. Untung saja BI sangat pruden dalam menjalankan kebijakan di tengah pandemi. Apakah dana stimulus I dan II sudah mengalir? Saya enggak yakin sudah jalan, mungkin baru mengalir pada kuartal IV/2020," ujarnya.