Bisnis.com, JAKARTA – Industri berorientasi ekspor di Tanah Air menghadapi tantangan yang kian berat menyusul adanya potensi tuduhan subsidi dari negara mitra dagang akibat guyuran stimulus ekonomi selama pandemi Covid-19.
Ketua Tim Pertimbangan Kepentingan Nasional Oke Nurwan mengemukakan stimulus tersebut bisa mengarah pada tuduhan unfair trade jika diterapkan berkepanjangan. Untuk itu, pemerintah diharapkan dapat mencabut fasilitas tersebut kala ekonomi telah pulih demi menghindari pengenaan bea masuk imbalan (BMI).
"Indonesia harus mengantisipasinya. Stimulus pemerintah ke industri, itu juga bisa menjadi landasan untuk tuduhan unfair trade," kata Oke, Senin (8/6/2020).
Seperti diketahui, stimulus ekonomi berupa relaksasi pajak dan kemudahan impor bahan baku untuk industri marak dilakukan berbagai negara guna menjaga aktivitas produksi yang berdaya saing, termasuk Indonesia.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani mengamini bahwa kebijakan perdagangan di sisi ekspor dan impor yang diberlakukan Indonesia selama pandemi bersifat distortif terhadap persaingan dagang yang sehat.
Namun, lanjut Shinta, hal serupa pun dilakukan pula oleh negara lain dalam jangka waktu tertentu dan dilaporkan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
"Kebijakan ini dinilai sebagai pengecualian atas aturan normal dan bukan kecurangan dagang," ujarnya.
Terlepas dari kondisi tersebut, Shinta menggarisbawahi pentingnya pencabutan kebijakan tersebut kala status darurat Covid-19 telah usai dan perekonomian memasuki fase pemulihan.
"Semakin lama kita pertahankan kebijakan-kebijakan restriktif dan distortif terhadap perdagangan setelah darurat Covid-19 selesai, ancaman munculnya tuduhan-tuduhan perdagangan akan semakin besar dan sulit dimenangkan," lanjut Shinta.
Hal ini serupa pun perlu menjadi pertimbangan bagi Indonesia agar tak melakukan proteksi secara berlebihan bahkan ketika pemulihan ekonomi. Kebijakan seperti safeguard disebutnya berpotensi memicu retaliasi dan merembet ke komoditas lain.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi pun menyampaikan hal serupa. Indonesia dinilainya tak perlu mengikuti arus proteksionisme yang berpotensi makin marak kala pandemi dan sesudahnya.
Pasalnya, sebagian besar impor yang dilakukan Indonesia didominasi oleh bahan baku yang menunjang aktivitas industri.
"Stimulus ekonomi di berbagai negara memang bisa menjadi landasan bagi Indonesia untuk melakukan penyelidikan trade remedies. Tetapi lebih baik fokus pada efektivitas stimulus pada kinerja dalam negeri karena bisa memicu retaliasi dari negara lai," lanjutnya.
Kekhawatiran tuduhan subsidi sendiri masih membayangi sejumlah komoditas ekspor Indonesia. Salah satunya adalah biodiesel yang sejauh ini menjadi sasaran tuduhan antisubsidi di Amerika Serikat dan Uni Eropa.
"Harga solar selama pandemi turun akibat harga minyak dunia yang terkontraksi. Ini artinya selisih harga minyak dan biodiesel akan semakin lebar. Dan untuk itu pemerintah juga akan memberi dukungan yang semakin besar. Dampaknya di perdagangan internasional bagaimana mengingat banyak negara yang juga memberikan stimulus," ungkap Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan .