Bisnis.com, JAKARTA – Industri minuman ringan tercatat menjadi salah satu sektor yang terdampak cukup besar dengan adanya pandemi Covid-19.
Industriwan meramalkan utilitas industri minuman ringan baru dapat kembali normal setidaknya pada 2021.
Asosiasi Minuman Ringan (ASRIM) mencatat volume produksi pada Januari-Februari tumbuh sekitar 1 persen dari periode yang sama tahun lalu. Namun, kondisi semua pabrikan minuman ringan berubah saat Covid-19 menyerang.
"Setelah lewat Maret sampai saat ini kami melihat ada penurunan produksi 20-50 persen [secara tahunan]. Walaupun kondisinya berat kami mencoba tidak ada PHK [pemutusan hubungan kerja]," kata Ketua Umum Asrim Triyono Prijosoesilo kepada Bisnis, Kamis (4/6/2020).
Pada Februari, Triyono menargetkan tahun ini industri minuman ringan hanya dapat tumbuh sekitar 3-4 persen. Namun demikian, lanjutnya, pengenaan cukai gula dapat membuat pertumbuhan produksi industri minuman ringan kembali negatif seperti pada 2017.
Adapun, Asosiasi Minuman Ringan (Asrim) mendata volume produksi tiga jenis minuman ringan yakni teh kemasan, minuman karbonasi, dan minuman ringan lainnya.
Baca Juga
Pada 2016, volume produksi teh kemasan mencapai 2,1 juta ton, minuman karbonasi sekitar 747.000 ton, sementara minuman ringan lainnya sekitar 808.000 ton.
Triyono berujar penurunan produksi tersebut disebabkan oleh sisi permintaan. Menurutnya, konsumen menjadi lebih selektif dalam mengonsumsi minuman ringan khussunya konsumen kelas menengah dan menengah bawah.
Alhasil, lanjutnya, produk minuman ringan dengan harga yang relatif tinggi memiliki dampak terbesar. Selain itu, ujar Triyono, sifat konsumen yang menjadi lebih selektif membuat industri ringan tidak menikmati lonjakan permintaan pada bulan Ramadhan.
Triyono mendata permintaan pada bulan Ramadhan berkontribusi sekitar 40 persen dari total permintaan selama satu tahun. Dengan kata lain, lanjutnya, tahun ini akan menjadi tahun yang berat bagi industri minuman ringan nasional.
Adapun, Triyono mencatat utilitas industri minuman ringan saat ini berada di kisaran 40-50 persen. Angka tersebut merosot dari realisasi Februari 2020 di kisaran 80-90 persen.
"Pada Ferbruari kami rampart production untuk persiapan bulan Ramadhan. Begitu Maret kena [pandemi] Covid-19, semua aktivitas [produksi] stop. Bulan Ramadan tidak berhasil meningkatkan permintaan secara masif," ucapnya.
Penurunan utilitas pabrikan, sambungnya, diikuti dengan pengurangan lini produksi. Menurutnya, sebagian pabrikan mengurangi lini produksinya dari 3 lini menjadi 2 lini.
Selain itu, Triyono menyampaikan pabrikan juga mengurangi jumlah tenaga kerja di pabrik sekitar 40-50 persen. Triyono berujar, hal tersebut dilakukan guna menjaga kesehatan tenaga kerja dan mengikuti protokol kesehatan dalam masa pandemi.
Sementara itu, Triyono mengatakan industri minuman ringan sampai saat ini tidak mengalami permasalahan dari sisi pasokan bahan baku. Pasalnya, ujar Triyono, pabrikan telah mencadangkan ketersediaan bahan baku untuk persiapan lonjakan permintaan pada Ramadhan.
Di sisi lain, Triyono menilai pelonggaran protokol pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai angin segar. Triyono berpendapat pelonggaran tersebut akan mulai menggerakkan roda perekonomian.
Namun demikian, Triyono mengutarakan pelonggaran tersebut tidak akan langsung menaikkan utilitas pabrikan. Triyono menyatakan hal tersebut disebabkan oleh penuhnya persediaan peritel akibat tidak adanya lonjakan permintaan saat Ramadhan.
"Kami tidak bisa produksi kalau permintaan tidak banyak. Yan terjadi hanya replenishment, menjaga stok di pasar," katanya.
Adapun, Triyono meramalkan peningkatan utilitas pabrikan baru akan terjadi pada kuartal III/2020. Akan tetapi, lanjutnya, peningkatan utilitas pabrikan menjadi seperti awal tahun tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
"Untuk mencapai [utilitas] kondisi normal feeling saya bari pada 2021 dengan adanya vaksi pada awal tahun depan," ucapnya.