Bisnis.com, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Perppu Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan pandemi Covid-19 menjadi undang-undang.
Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP Hipmi Ajib Hamdani mengatakan ada salah satu poin yang menjadi kontradiksi yang perlu ditelaah dan dikritisi secara proposional.
Pemerintah mempunyai kewenangan penuh atas APBN periode tahun Anggaran 2020, 2021 dan 2022 dalam membuat batasan defisit anggaran melebihi 3 persen.
"Positifnya, pemerintah mempunyai ruang gerak luar biasa untuk mendesain APBN yang cocok dengan program-program pemerintah dengan struktur defisit, tanpa sepersetujuan DPR. Fungsi budgeting DPR ternihilkan, sehingga tidak memerlukan penanganan khusus atas potensi manuver politik DPR," papar Ajib keterangan tertulis Sabtu (16/5/2020).
Menariknya, dalam perppu itu pemerintah justru membuat kebijakan insentif fiskal, yang sebenarnya sudah termuat dalam draft RUU Omnibus Law Perpajakan. Insentif pajak berupa penurunan tarif Pajak Penghasilan wajib pajak badan diturunkan dalam tempo 3 tahun ke depan. Pada 2020 dan 2021 turun menjadi 22 persen, serta 2022 menjadi 20 persen, dari semula 25 persen.
Dengan penerimaan PPh Badan pada 2019 sebesar Rp256 triliun, penurunan tarif akan mengoreksi penerimaan sekitar minus Rp30 triliun, dengan asumsi size ekonomi sama. Konstraksi lebih dalam akan terjadi lagi di periode 2022.
"Di sinilah kontradiksi yang terlihat, ruang defisit ditambah, tapi ruang fiskal justru dipersempit," jelasnya.
Dia melanjutkan satu sisi insentif fiskal tersebut dapat memberikan ruang likuiditas agar sektor usaha berjalan dengan baik dan daya saing yang lebih positif. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mendapat manfaat tersebut dan seberapa besar dampak kepada masyarakat luas.
"Selama 3 tahun ke depan, kita akan melihat, merasakan, dan bisa menghayati, desain APBN apakah akan bermanfaat buat masyarakat luas, buat bangsa, atau buat kalangan elit," katanya.