Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kesulitan Bahan Baku, Produksi APD dan Masker Bakal Mandek

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan saat ini hanya sekitar 20 unit pabrikan garmen atau sekitar 3 persen dari total pabrikan garmen nasional yang memproduksi APD dan masker berstandar medis
Louis Vuitton memproduksi APD bagi tenaga medis./Instagram
Louis Vuitton memproduksi APD bagi tenaga medis./Instagram

Bisnis.com, JAKARTA - Pabrikan tekstil dan produk tekstil (TPT) menyatakan permintaan akan alat perlindungan diri (APD) dan masker di pasar masih tinggi. Namun demikian, dalamnya struktur industri TPT memuat proses produksi APD dan masker dapat terhenti dalam waktu dekat.

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan saat ini hanya sekitar 20 unit pabrikan garmen atau sekitar 3 persen dari total pabrikan garmen nasional yang memproduksi APD dan masker berstandar medis. Adapun, sebagian pabrikan yang masuk ke 97 persen pabrikan garmen lainnya memproduksi APD dan masker yang tidak berstandar medis.

"[Pabrikan garmen] yang 3 persen ini masih bisa produksi, tapi yang 97 persen ini tidak dan mereka dihadapkan pada tekanan cash flow. Industri [TPT] harus tetap bayar BP Jamsostek, cicilan bank, dan lainnya," kata Sekretaris Jenderal API Rizal Rakhman kepada Bisnis, Jumat (17/4/2020).

Rizal menambahkan parikan garmen saat ini sulit mendapatkan bahan baku. Pasalnya, sebagian besar pusat peritel bahan baku garmen, seperti Pasar Tanah Abang, Pasar Baru, dan Pasar Cigondewah, telah tutup. Dengan kata lain, arus kas industri antara TPT juga tertekan mengingat serapan kain di pasar tersendat.

Adapun, Rizal menyatakan arus kas rata-rata pabrikan saat ini hanya mampu menjaga proses produksi maksimal hingga medio kuartal III/2020. "Sebentar lagi kan bayar THR [Tunjangan Hari Raya], terus kami tidak punya yang. Pasar Tanah Abang tutup, toko-toko ritel tutup."

Rizal menyampaikan utilitas pabrikan yang saat ini memproduksi APD maupun masker berstandar medis pun tidak optimum. Pasalnya, pabrikan garmen tersebut hanya menambahkan lini produksi APD dan masker melainkan mengalhkan produksinya.

Dengan kata lain, utilitas pabrikan garmen yang memproduksi APD dan masker belum menembus level 90 persen atau memiliki utiltias di sekitar posisi 70-80 persen.

Rizal menilai melemahnya kegaitan produksi pada pabrikan antara TPT dapat membuat proses produksi APD dan masker pada akhirnya terhenti.

"Mereka [pabrikan garmen] juga butuh industri weaving dan kain. Kalau supply chain-nya terganggu, pasti mempengaruhi [produksi APD dan masker]. Apalagi, kalau pemerintah jadi memakai APD polyester itu," katanya.

Sebelumnya Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Wirawasta bahkan mengatakan bahwa utilitas pabrikan tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional saat ini berada di level 30 persen dan akan turun ke posisi 20 persen pada bulan depan.

Menurutnya, peralihan lini produksi untuk menghasilkan alat pelindung diri (APD) dan masker tidak dapat menutupi kontraksi pasar. Dengan terganggunya arus kas itu, maka produksi APD dan masker pun terancam berhenti dalam waktu dekat.

"Untuk saat ini [produksi APD dan masker] masih aman. [Akan tetapi,] beberapa pabrikan ada yang sudah bicara [hanya mampu menjaga kelangsungan produksi APD dan masker] sampai Juni 2020," kata kepada Bisnis, Kamis (16/4/2020).

Redma menjelaskan bahwa rendahnya daya guna pabrikan TPT nasional disebabkan oleh masifnya jumlah pabrikan yang menghentikan produksi secara total. Sementara itu, pabrikan yang masih beroperasi memiliki utilitas di ambang batas atau di level 60 persen.

Saat ini, lanjutnya, pabrikan mengalihkan seluruh arus kas yang tersedia untuk memproduksi APD dan masker. Namun demikian, Redma berujar pabrikan tekstil akan menghentikan produksi jika daya guna berada di bawah level 60 persen.

Jika pabrikan tekstil menghentikan produksi, pabrikan garmen tidak akan mendapatkan bahan baku untuk memproduksi APD maupun masker.

Oleh karena itu, Redma menilai bahwa relaksasi dibutuhkan tidak hanya bagi mereka yang saat ini masih berproduksi, tetapi juga bagi mereka yang saat ini tutup dan diperlukan untuk kembali beroperasi pasca pandemi Covid-19 berakhir.

Sebelumnya, APSyFI telah meminta beberapa relaksasi kepada pemerintah pada masa pandemi terkait dengan pembayaran rekening listrik, gas, moneter, BPJS Ketenagakerjaan dan perpajakan. Menurut Redma, pihaknya telah menyampaikan surat secara resmi ke beberapa kementerian dan lembaga terkait hal ini, tetapi hingga saat ini masih minim tindak lanjut.

“Karena kami harus prioritaskan pembayaran upah karyawan dan THR [tunjangan hari raya]-nya, kalau semua kewajiban biaya tetap dibebankan, sedangkan pemasukan tidak ada, kami bayar pakai apa? Nanti banyak perusahaan akan pailit,” ujarnya.

Redma berujar telah melakukan dialog dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., dan BPJS Ketenagakerjaan terkait dengan penundaan pembayaran tagihan. Namun, lanjutnya, ketiga badan usaha milik negara tersebut masih belum merespons dialog asosiasi.

Selain itu, katanya, sektor perbankan sangat lambat merespons arahan relaksasi pembiayaan oleh Otoritas Jasa Keuangan pada masa pandemi. "Padahal, ini kan kondisi bencana luar biasa!”


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper