Bisnis.com, JAKARTA - Kapasitas produksi alat berat pada semester satu diramalkan akan susut sekitar 34,7 persen secara tahunan. COVID-19 dan pelemahan kurs dinilai sebagai penyebab utamanya.
Himpunan Industri Alat Berat (Hinabi) meramalkan pabrikan alat berat pada semester I/2020 hanya akan mampu memproduksi sekitar 35-40 persen dari target akhir tahun. Biasanya pabrikan dapat memproduksi sekitar 55-60 persen dari target akhir tahun.
"Tadinya saya mencanangkan [pertumbuhan produksi minus] 7 persen [tahun ini], tapi di Maret kemarin saya memutuskan ini [menjadi minus] 15 persen. Jadi, tidak ada optimisme sekarang, tidak mengurangi karyawan sudah bagus," ujar Ketua Hinabi Jamalludin kepada Bisnis, Jumat (3/4/2020).
Jamalludin berujar pada tahun lalu alat berat yang berhasil diproduksi sebanyak 6.060 unit. Dengan kata lain,asosiasi merubah target awal 2020 sebanyak 5.636 unit menjadi 5.151 unit.
Adapun, utilitas akan turun dari sekitar level 60 persen menjadi sekitar 51 persen hingga akhir tahun ini. Jamalludin menyatakan sebagian pabrikan sudah mulai mengurangi tenaga kerjanya untuk meringankan beban arus kas.
"Total tenaga kerja industri alat berat [sekitar] 22.000 dengan kapasitas produksi [sekitar] 10.000 [unit per tahun]. Kalau sekarang [proyeksi produksi] 5.000 unit, apa iya kami bertahan dengan 22.000 tenaga kerja?" ujarnya.
Jamalludin telah meminta beberapa langkah yang harus dilakukan pemerintah agar tren penurunan produksi tidak berlanjut ke semester II/2020. Jamalludin setidaknya tiga proposal.
Pertama, memprioritaskan produk alat berat lokal daripada produk impor. Jamalludin menilai langkah tersebut perlu dilakukan agar pabrikan dapat mengeluarkan alat berat di gudang industri.
Oleh karena itu, Jamalludin menilai perlu adanya harmonisasi regulasi antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. "Caranya, kami minta implementasi TKDN [tingkat komponen dalam negeri]. Sekarang sudah di sekitar level 40 persen."
Kemudian, peningkatan kompetensi sumber daya manusia industri alat berat denagn perumusan standar kompetensi kerja nasional (SKKNI) remanufakturing industri alat berat.
Di sisi lain, Jamalludin berharap kurs rupiah juga dapat kembali normal, setidaknya kembali ke posisi awal Maret di sekitar Rp14.900. Pasalnya, lanjutnya, asosiasi telah menurunkan target produksi menjadi minus 15 persen dengan acuan kurs tersebut.