Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi pengembang berharap stimulus yang diberikan Otoritas Jasa Keuangan sebagai dampak risiko pandemi virus corona jenis baru atau Covid-19 dapat menyentuh industri properti.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya menerapkan kebijakan pemberian stimulus bagi perekonomian dengan menerbitkan POJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.
Wakil Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Rusmin Lawin mengatakan bahwa stimulus itu diharapkan dapat mendorong perbankan memberikan keringanan berupa penundaan cicilan kredit terhadap para pengembang properti agar tak sampai menimbulkan kredit macet (non-performing loan/NPL).
Stimulus yang berlaku sejak 13 Maret 2020 sampai dengan 31 Maret 2021 itu ditujukan untuk debitur khususnya UMKM dan sektor yang paling rentan terkena dampak seperti industri pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan, maupun pertanian.
Adapun, kebijakan stimulus tersebut salah satunya terdiri dari penilaian kualitas kredit atau pembiayaan maupun penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk kredit sampai dengan Rp10 miliar.
"[Insentif] kepada pengembang juga penting, kenapa? Karena sekarang pengembang membangun rumah tapi tidak bisa jual [akibat corona], jadi kredit tak bisa bayar cicilannya, sehingga mesti dipikirkan juga. Jangan sampai adanya PHK," ujar Rusmin kepada Bisnis, Selasa (24/3/2020).
Baca Juga
Rusmin yang juga menjabat sebagai Board of Director of World FIABCI ini menyatakan bahwa industri properti juga perlu menjadi salah satu sektor di dalamnya mengingat perusahaan properti turut berkontribusi mengembangkan perumahan untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
"Kita berharap UMKM Rp10 miliar itu termasuk pengembang yang juga UMKM, objeknya [kreditnya] di bawah Rp10 miliar. Biasanya pengembang sederhana utangnya di bawah itu, hanya Rp5 miliar, tidak sampai Rp10 miliar," tuturnya.
Sementara itu, dalam penjelasan OJK, relaksasi pengaturan ini berlaku untuk debitur Non-UMKM dan UMKM dan akan diberlakukan sampai dengan satu tahun setelah ditetapkan.
Penerapannya dilakukan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian yang disertai adanya mekanisme pemantauan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dalam penerapan ketentuan (moral hazard).
Adapun, mekanisme penerapan diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan masing-masing bank dan disesuaikan dengan kapasitas membayar debitur. Artinya, semua wewenang kembali kepada perbankan.
Oleh karena itu, perbankan didorong untuk memiliki pedoman yang paling sedikit menjelaskan kriteria debitur yang ditetapkan terkena dampak Covid-19 serta sektor yang terdampak.