Bisnis.com, JAKARTA - Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional harus menghadapi rendahnya daya beli masyarakat dan derasnya impor garmen murah. Alhasil, bukan hanya pada Ramadhan, eksistensi industri TPT kini terancam.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) meminta pemerintah untuk mengontrol arus impor yang kini cukup tinggi. Namun demikian, asosiasi tetap pesimistis parikan TPT lokal akan mendapatkan berkah Ramadhan jika imbauan bekerja dari rumah diperpanjang hingga akhir Mei 2020.
"Kalau impor bisa dikurangi, [pabrikan TPT lokal] bisa dapat berkah lebaran. Tapi, kalau [imbauan bekerja dari rumah] sampai 29 Mei 2020 itu benar terjadi, bingung orang [di pabrik]," kata Ketua Umum API Jemmy Kartiwa kepada Bisnis belum lama ini.
Jemmy menilai imbauan bekerja dari rumah membuat roda perekonomian tidak berputar. Otomatis, lanjutnya, produk TPT di gudang tida keluar. Maka dari itu, Jemmy menyatakan bingung antara menggenjot produksi untuk Ramadhan atau mengosongkan barang di gudang industri.
Terpisah, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) menyatakan sebagian industri tekstil, garmen, dan konveksi di Jawa Barat dan Jawa Timur sudah menghentikan proses produksi mulai hari ini, Jumat (20/3/2020). Asosiasi menilai penghentian mesin di pabrikan tersebut disebabkan oleh rendahnya permintaan di pasar.
Asosiasi mengkhawatirkan pabrikan akan terpaksa merumahkan tenaga kerja jika pelemahan permintaan pasar lokal berlanjut. Adapun, tren pelemahan permintaan telah dimulai sejak medio Februari 2020.
"Maret turun lagi. Sekarang demand sudah tidak ada, minggu depan tutup pabrik-pabrik [TPT]. Demand-nya hilang karena [merebaknya wabah virus] corona," kata Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Wiraswasta kepada Bisnis, Jumat (20/3/2020).
Redma menyampaikan proses ekspor industri hulu TPT bahkan sudah terhenti. Di satu sisi, ujarnya, permintaan di pasar global juga rendah, sementara sebagian besar buyer meminta menunda pengiriman hingga beberapa bulan ke depan.
Oleh karena itu, Redma meminta agar pemerintah menghentikan arus impor TPT di seluruh sektor. Adapun, Redma menyarankan agar penutupan keran impor tersebut berlangsung setidaknya 12 bulan agar industri TPT nasional bisa pulih.
Pasalnya, lanjutnya, saat ini produk TPT impor yang masuk adalah barang jadi alias garmen. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh peritel garmen lokal yang kini mulai memasok barangnya dari kegiatan impor yang umumnya dari China.
Redma menghitung selisih antara garmen lokal dan garmen dari China berkisar antara 10-15 persen. Namun demikian, selisih tersebut melebar dengan adanya praktek dumping dan kecurangan lainnya hingga menjadi 20-30 persen.
"Importir banyak alasan di lokal tidak ada [bahan bakunya], tapi [sebenarnya] masalah harga saja. Kalau [serat] China [bisa lebih murah] 30-40 persen, kalau garmen mungkin 50 persen," katanya.
Di sisi lain, data prognosa Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menunjukkan keadaan saat ini jika berlanjut akan membuat volume ekspor TPT nasional terkontraksi. Namun demikian, data tersebut belum memperhitungkan faktor implementasi protokol penguncian (lockdown) di negara tujuan ekspor.
"Ini masih dihitung efek lockdown-nya. Yang jelas, [lockdown di negara tujuan ekspor] akan berdampak sangat signifikan," kata Direktur Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin Elis Masitoh kepada Bisnis belum lama ini.
Di sisi lain, Elis menyampaikan permintaan di pasar dalam negeri juga telah menurun. Menurutnya, hal tersebut dipicu oleh imbauan bekerja dari rumah oleh presiden.
"Akibat pengumuman hari Jumat [16/3/2020] kemarin saja sudah sangat berdampak ke penjualan produk dalam negeri," katanya.