Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tren Positif Batu Bara Diprediksi Tak Bertahan Lama

Virus corona mengakibatkan produksi batu bara China terganggu, tetapi tidak otomatis membuat impor Negeri Tirai Bambu tersebut meningkat tajam.
Aktivitas di area pertambangan batu bara PT Adaro Indonesia, di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, Selasa (17/10)./JIBI-Nurul Hidayat
Aktivitas di area pertambangan batu bara PT Adaro Indonesia, di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, Selasa (17/10)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Meski harga batu bara acuan (HBA) menunjukkan tren positif, tetapi diperkirakan harga akan sulit merangkak naik di paruh pertama tahun ini.

HBA kembali merangkak naik pada Maret 2020 mencapai US$67,08 per ton. Kenaikan tersebut 0,28 persen dari posisi pada Februari yang sebesar US$66,89 per ton. Adapun, HBA di Januari sebesar US$65,93 per ton.

Ketua Umum Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan saat ini Korea Selatan tengah melakukan penutupan atau shut down sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu baranya dan diganti dengan pembangkit yang renewable energy. Lalu, India tengah mencoba terus menaikkan produksi batu bara naaional.

"Saya kira berat untuk harga naik lagi dengan kondisi pasar yang ada," ujarnya kepada Bisnis.com, Kamis (5/3/2020).

Dia menuturkan akibat virus corona (Covid-19) jelas telah mengakibatkan produksi batu bara China terganggu. Namun demikian, hal ini bukan lantas mengakibatkan impor Cina meningkat tajam mengingat bagaimanapun industri di China juga turut terganggu.

"Terganggunya industri akan berakibat pasokan untuk PLTU juga berkurang. Dengan kondisi ini, dapat diproyeksikan kebutuhan impor dari Indonesia akan meningkat, namun harus diletakkan juga seberapa besar industri mereka terganggu," katanya.

Kendati demikian, kondisi riil yang ada justru membuat China tidak agresif dalam meningkatkan impor batu bara tetapi kebutuhan mereka justru melambat.

Hal ini jelas menjadi indikasi mereka berupaya menjaga keseimbangan antara gangguan produksi, kapasitas coal stockpile yang ada, dan kondisi industri khususnya terkait dengan kebutuhan energi atau batu bara.

Singgih menambahkan hal itu juga terjadi di negara lain di luar China dimana dengan kondisi akibat corona mereka tak meningkatkan impor berlebih, tetapi akan melakukan produksi yang ada di dalam negeri.

"Mereka harus menjaga berbagai parameter itu agar harga tidak secara esktrim naik, tetapi dapat terjaga. Korea Selatan tak naik pemerintaannya karena mereka justru melihat kondisi makro yang ada," tuturnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Baru Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia berpendapat masih terlalu dini untuk menyebut adanya tanda positif akan menguatnya harga batu bara di enam bulan pertama tahun ini.

"Di kuartal 1 sendiri rerata harga dikisaran US$65 per ton hingga US$66 per ton," ucapnya.

Dia menuturkan hal ini disebabkan antara lain, indikator yang digunakan adalah trend HBA di kuartal I yang masih mengalami ketidakpastian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Yanita Petriella

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper