Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pasokan Bahan Baku Obat Terbatas

Direktur Eksekutif GP Farmasi Dorojatun Sanusi mendata 60-62 persen BBO pabrikan farmasi nasional berasal dari China. Adapun, India memasok sekitar 20 persen, sedangkan selebihnya berasal dari berbagai negara.
Pedagang obat melayani pembeli di Pasar Pramuka, Jakarta, Selasa (11/02/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Pedagang obat melayani pembeli di Pasar Pramuka, Jakarta, Selasa (11/02/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) menyatakan sebagian bahan baku obat akan kosong pada awal kuartal II/2020 lantaran wabah corona di China belum terselesaikan. Pasalnya, sebagian besar bahan baku obat (BBO)pabrikan nasional berasal dari Negeri Panda.

Direktur Eksekutif GP Farmasi Dorojatun Sanusi mendata 60-62 persen BBO pabrikan farmasi nasional berasal dari China. Adapun, India memasok sekitar 20 persen, sedangkan selebihnya berasal dari berbagai negara.

"Tapi, India juga ketergantungan bahan baku [produksi BBO) dari China. Jadi, India juga tidak bisa men-supply karena keterbatasan [bahan baku BBO]," katanya kepada Bisnis, Selasa (3/3/2020).

Dorojatun menduga saat ini ada kenaikan harga obat di pasaran sekitar 10 persen. Hal tersebut disebabkan oleh keterlambatan pasokan dari China sekitar 2 minggu lalu.

Dengan kata lain, industri farmasi hanya dapat menunggu pemulihan pabrikan BBO di Negeri Tirai Bambu. Dari sisi rantai nilai BBO, Dorojatun menyatakan arus kas pabrikan farmasi saat ini rendah lantaran keterlambatan pembayaran obat dari rumah sakit yang memiliki program jaminan kesehatan nasional (JKN).

Dorojatun mencatat nilai keterlambatan pembayaran ke pabrikan telah mencapai Rp5,6 triliun-Rp6 triliun yang seharusnya jatuh tempo 6-12 bulan lalu. Oleh karena itu, Dorojatun berujar walaupun BBO di China telah pulih kemampuan pabrikan farmasi untuk menyerap BBO saat ini rendah.

Di sisi lain, Dorojatun mengapresiasi arahan Kementerian BUMN kepada PT Bio Farma (Persero) untuk mengembangkan vaksin wabah corona. Namun demikian, Dorojatun menilai pabrikan vaksin di dalam negeri belum memiliki kemampuan untuk memproduksi vaksin corona.

Hanya saja, lanjutnya, proses pembuatan vaksin membutuhkan keahlian, teknologi, biaya, dan protokol izin edar yang tinggi. "Jangankan Bio Farma, kalau ada beberapa negara di Asia Tenggara bergabung [dalam pembuatan vaksin corona] saya mempertanyakan kemampuan itu."

Namun demikian, Dorojatun optimistis Bio Farma bisa mendapatkan akses yang luas, efektif, dan cepat terhadap pusat penelitian di dunia. Adapun, Dorojatun berharap agar Bio Farma dapat bekerja sama dengan Biological Expert Group dalam World Health Organtization (WHO).

Terpisah, Head of Corporate Communications Bio Farma Iwan Setiawan mengatakan perseroan sudah menjajaki kerja sama penelitian pengembangan COVID-19 dengan lembaga internasional maupun nasional. Adapun, lanjutnya, beberapa lembaga tersebut adalah Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI) dan Lembaga Molekuler Biologi Ejkman.

"Kami masih menjajagi institusi di dalam da luar negeri untuk bisa riset dan produksi vaksin corona dengan waktu yang seger," katanya kepada Bisnis.

Namun demikian, Iwan menyampaikan pihaknya belum dapat menerbitkan hasul penelitian COVID-19 tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper