Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha industri farmasi mengkhawatirkan defisit BPJS Kesehatan yang kian memburuk. Pasalnya pola pembayaran dari perusahaan akan menentukan arah industri sepanjang tahun ini.
Direktur Eksekutfi Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) Dorojatun Sanusi mengaku belum memiliki gambaran akan kinerja pada 2020. Pasalnya, isu utama dari kinerja industri adalah cashflow atau perputaran uang.
"Kalau BPJS makin memburuk, dana tidak berputar kemampuan produksi akan terganggu. Pembayaran ini tidak hanya memengaruhi distribusi yang turun tetapi ke ritel juga," katanya, Kamis (30/1/2020).
Dorojatun mengemukakan dari sisi investasi, industri farmasi sebenarnya mulai meningkatkan kapasitas sejak 2016. Terutama guna memenuhi kebutuhan proyeksi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dirancang secara mandiri oleh pelaku usaha.
Selain itu, dalam empat tahun terakhir ini pelaku usaha juga telah melakukan investasi guna menunjang produksi seperti laboratorium, gudang, alat transportasi, dan sarana lainnya. Kemudian investasi juga dilakukan dalam bidang penelitian dan pengembangan.
"Sementara investasi yang mengarah ke kemandirian bahan baku obat banyak dilakukan mulai akhir 2017 ini kurang lebih 12 - 13 industri yang investasi di sana untuk memproduksi 17 bahan baku obat dan lainnya," ujarnya
Baca Juga
Alhasil, untuk yang berkaitan dengan pasokan pasar dipastikan sudah selesai. Bahkan, ada kelebihan produksi sekitar 30 persen hingga 40 persen saat ini.
Dia berpendapat untuk investasi menuju kemandirian memang masih dalam proses yang akan selesai paling lambat 2021. Asosiasi pun tidak memiliki data terkini karena banyak yang melakukan dengan berbagai skema seperti joint venture dan baru mulai pada tahun lalu. Investasi ini juga untuk jangka menengah dan panjang.
Kinerja farmasi, lanjutnya, masih positif kendati investasi kimia dan farmasi data BKPM tercatat menurun. Industri masih bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri atau melakukan kegiatan ekspor.