Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto mengemukakan peran strategis industri sawit kala membuka kegiatan hari terakhir pertemuan tahunan World Economic Forum, di Davos, Kamis (23/1/2020) waktu setempat.
“Sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar, Indonesia memanfaatkan forum ini untuk memberikan penjelasan yang utuh mengenai penanganan komoditas kelapa sawit serta menyampaikan berbagai program pemerintah untuk mengatasi deforestasi,” terang Airlangga, dikutip dalam keterangan resmi, Jumat (24/1/2020).
Dalam pertemuan yang mengusung topik Collective Action for Forest Positive tersebut, Airlangga mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk melihat industri sawit secara holistik, termasuk dari aspek lingkungan, ekonomi, kontribusi terhadap pembangunan global–terutama untuk pencapaian SDGs–perspektif bisnis, serta kebijakan yang telah diambil Indonesia.
“Indonesia merupakan produsen minyak sawit utama dunia. Komoditas ini berkontribusi terhadap 3,5 persen PDB nasional. Dengan memanfaatkan tidak lebih dari 10 persen dari total global land bank for vegetable oil, Indonesia mampu menghasilkan 40 persen dari total minyak nabati dunia,” ujar Airlangga.
Airlangga pun menyebutkan bahwa sektor minyak sawit nasional telah berkontribusi dalam mengentaskan kemiskinan bagi 10 juta orang. Melihat hal ini, industri kelapa sawit dinilainya sebagai sektor strategis bagi perekonomian masyarakat yang perlu dikawal.
Airlangga menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia saat ini tengah mengembangkan kebijakan yang mendorong permintaan dari produk sawit. Di antaranya melalui pengembangan B30 sebagai salah satu alternatif BBM untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar berbasis fosil.
"Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah dalam mengurangi emisi karbon dan mengimplementasikan pembangunan rendah karbon," kata Airlangga.
Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki luas perkebunan kelapa sawit sekitar 14 juta hektare yang dapat menyerap sekitar 2,2 miliar ton karbon dioksida (CO2) dari udara setiap tahun.
Menko Airlangga mengakui bahwa tantangan utama terletak pada upaya mengonversikan jejak karbon ke dalam suatu skema bisnis yang bermanfaat bagi masyarakat.
"Untuk itu Indonesia mengajak para peserta yang hadir, khususnya dari kalangan bisnis, untuk mulai berinvestasi di sektor karbon," ujarnya.
Bagi Indonesia, investasi lingkungan, terutama menyangkut reforestasi, tidak harus dibatasi hanya dalam konteks peremajaan. Hal itu perlu diperluas hingga mencakup aspek monetisasi dari emisi karbon yang dapat diserap oleh perkebunan sawit.
Oleh karenanya Indonesia mengusulkan agar para stakeholders yang hadir bisa ikut memikirkan mekanisme atau skema penerapan kredit karbon yang tepat dalam merealisasikan potensi Indonesia sebagai the capital of carbon credit.