Bisnis.com, JAKARTA – Upaya peningkatan produksi buah-buahan dalam negeri diharapkan tidak hanya dilakukan untuk mendongkrak ekspor. Produksi lokal dinilai perlu digenjot untuk meredam impor buah tropis yang masih berlangsung sampai saat ini.
Pemerhati komoditas hortikultura sekaligus mantan Ketua Umum Asosiasi Eksportir-Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia (Aseibssindo) Khafid Sirotuddin mengemukakan bahwa langkah tersebut perlu diambil melihat pada potensi pasar Indonesia yang sangat besar.
Dengan penduduk yang mencapai 267 juta jiwa, potensi konsumsi buah secara total disebutnya bisa menembus 13,35 juta ton dengan asumsi konsumsi per kapita dapat terdongkrak dari sekitar 37 kilogram per kapita per tahun menjadi 50 kilogram per kapita per tahun.
"Kebijakan pengembangan buah seharusnya jangan hanya berorientasi ekspor. Lebih baik dibuat upaya bagaimana produksi buah Nusantara dilakukan untuk subtitusi impor, khususnya sejumlah buah tropis yang kita tetap impor meski di dalam negeri diproduksi," kata Khafid kepada Bisnis pada Sabtu (4/1/2019).
Menurut dia, setidaknya ada lima buah-buahan tropis yang sejatinya diproduksi secara masif di dalam negeri, namun masih diimpor. Dia mengemukakan produksi buah ke depan perlu difokuskan pada buah-buahan tersebut yang meliputi alpukat, durian, pisang, kelengkeng, dan kelapa muda.
"Alpukat ini buah eksotis masa depan, ia tak hanya dikonsumsi langsung, tapi juga digunakan sebagai bahan baku kosmetik, untuk obat herbal, dan lainnya. Kelapa muda pun perlu dikembangkan karena perkebunan kelapa muda kita sekarang banyak yang tak berkembang sehingga kita perlu impor," ujarnya.
Menyitir data Badan Pusat Statistik (BPS), impor alpukat selama periode Januari–Oktober 2019 tercatat mencapai 137,68 ton dengan nilai US$700.267. Volume impor ini naik 38,2% dibandingkan periode yang sama pada 2018 sebanyak 99,62 ton.
Adapun untuk kelengkeng dengan kode HS 08109010, impor sepanjang Januari–Oktober 2019 tercatat berada di angka 57.751 ton dengan nilai US$108,5 juta. Volume impor ini naik sekitar 30% dibandingkan impor pada periode yang sama pada 2018 yang berjumlah 44.414 ton dengan nilai US$81,2 juta.
"Perlu dikembangkan buah unggul Nusantara dengan pendekatan satu wilayah, satu jenis buah, satu varietas. Selama ini itu hanya bualan politik, belum ada aksi nyata karena belum bisa memenuhi syarat satu varietas. Kawasan sendiri minimal 1.000 hektare untuk satu jenis buah," tutur Khafid.
Dia pun mendorong dikembangkannya infrastruktur penyangga guna mengantisipasi lonjakan pasokan buah di kala masa panen. Pengembangan ini pun dinilainya dapat mendorong industri pengolahan buah sehingga terjadi diversifikasi.
"Seandainya pengembangan di 1.000 hektare berhasil, ketika masa panen buah-buah impor tidak akan laku. Di sinilah kita juga memerlukan buffer untuk menjaga pasokan, hal ini juga akan mengarah ke diversifikasi produk," kata Khafid.