Bisnis.com, JAKARTA - Struktur biaya dan kualitas produk di industri baja menjadi salah satu faktor dominan yang memengaruhi daya saing produk dalam negeri.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Harjanto mengatakan struktur biaya produksi baja lokal masih cenderung tinggi sehingga menyebabkan harganya relatif kurang bersaing dengan produk impor.
Dia mengakui bahwa saat ini biaya logistik di Indonesia sudah mulai bersaing dengan pembangunan infrastruktur yang digenjot pemerintah dalam lima tahun terakhir. Namun, Harjanto menyoroti biaya energi, khususnya harga gas dan tarif listrik, yang masih terbilang tinggi bagi industri sehingga sulit menghasilkan harga produk yang berdayasaing.
"Pekerjaan rumah pemerintah adalah bagaimana memperbaiki cost structure di industri midstream dan upstream. Jika kita melihat energi sebagai komoditas maka pasti akan tetap mahal, tetapi bila dilihat sebagai modal pembangunan maka multiplier effect akan lebih besar," katanya di sela-sela kuliah umum bertajuk Baja Lokal VS Baja Impor yang dihelat President University, Rabu (18/12/2019).
Dia mengatakan kebutuhan baja di dalam negeri sebenarnya memiliki banyak variasi. Secara umum, katanya, ada dua macam, yakni untuk keperluan engineering dan untuk kebutuhan konstruksi.
Sejumlah produk baja, katanya, sudah bisa dipenuhi oleh produsen dalam negeri, khususnya untuk kebutuhan konstruksi. Namun, sebagian besar kebutuhan baja untuk engineering masih dipasok oleh produk impor.
"Baja untuk engineering masih tergantung impor, walau beberapa sudah mulai bisa dipasok dari dalam negeri, misalnya untuk kebutuhan otomotif," ujarnya.
Harjanto menjelaskan sejumlah kebutuhan produk baja memang sulit dipenuhi oleh produsen dalam negeri lantaran tidak memenuhi syarat skala keekonomian. Dia mencontohkan kebutuhan baja untuk rel kereta yang masih diimpor.
Harjanto menjelaskan pemanfaatan produk lokal sebenarnya lebih menguntungkan dari segi lead time, kecepatan pemenuhan pasokan, kestabilan nilai tukar dan biaya impor. Namun, standar mutu dan harga baja lokal dinilai membuat pelaku industri hilir di dalam negeri lebih memanfaatkan produk impor.
"Bagaimana hilir mau tumbuh, kalau harganya [baja] mahal. Problem kita bagaimana menurunkan harga di mid dan upstream," katanya.