Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Proyek LRT Jabodebek Dinilai Berpotensi Rugikan Negara

Pembangunan proyek Light Rapid Transit dinilai tidak berdasarkan kajian teknis dan ekonomis secara mendalam sehingga kurang bermanfaat bagi masyarakat. Bahkan proyek LRT dinilai berpotensi merugikan keuangan negara.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut B.Panjaitan (kedua kiri) dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saat melihat proses pengangkatan kereta LRT Jabodebekdi pitstop Stasiun Harjamukti, Minggu (13/10/2019)./Bisnis-Rio Sandy Pradana
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut B.Panjaitan (kedua kiri) dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saat melihat proses pengangkatan kereta LRT Jabodebekdi pitstop Stasiun Harjamukti, Minggu (13/10/2019)./Bisnis-Rio Sandy Pradana

Bisnis.com, JAKARTA - Pembangunan proyek Light Rapid Transit dinilai tidak berdasarkan kajian teknis dan ekonomis secara mendalam sehingga kurang bermanfaat bagi masyarakat. Bahkan proyek LRT dinilai berpotensi merugikan keuangan negara.

Menurut praktisi dan pemerhati masalah transportasi logistik Bambang Haryo Soekartono keputusan pemerintah membangun LRT tidak tepat, baik dilihat dari sisi biaya maupun kapasitas angkut dan kemanfaatannya. 

"Saya melihat LRT ini masih berorientasi proyek, tidak sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebutuhan riil masyarakat. Pemerintah mengeluarkan biaya sangat besar membangun LRT yang kapasitas angkut penumpangnya kecil, bahkan tidak bisa mengakomodasi angkutan logistik,” ungkapnya, Jumat (6/12/2019). 

Bambang membeberkan, proyek LRT Jabodebek yang menelan biaya hampir Rp30 triliun hanya bisa mengangkut maksimal 474.000 penumpang per hari. Produktivitas LRT ini sangat rendah dibandingkan dengan kereta api komuter berbasis rel atau KRL dengan tujuan yang sama.

Prasarana LRT Jabodebek juga mundur dari target penyelesaian 2019 menjadi 2021, sehingga sarana gerbong kereta yang telah selesai diproduksi tahun ini oleh PT INKA (Persero) menjadi idle karena depo dan jalur relnya belum siap.

“Biaya membengkak karena idle cukup lama. Padahal proyek ini menggunakan utang luar negeri dengan bunga cukup tinggi. INKA juga terancam rugi besar karena pembayaran tertunda selama kereta belum diserahkan dan diuji dinamik. Bagaimana mau uji dinamik, jalur rel dan deponya saja belum siap. Hingga saat ini pembayaran ke INKA baru 30 persen,” kata Bambang Haryo.

Dari segi desain, anggota Komisi V DPR RI periode 2014-2019 ini menilai jalur LRT Jabodebek tidak ideal, sebab dibangun elevated dan sejajar dengan jalan tol. Jika di jalur itu dibangun KA komuter berbasis rel, investasinya akan lebih murah dan kapasitas lebih besar, sekaligus dapat dimanfaatkan untuk kereta logistik.

Menurut Bambang Haryo, pemerintah sebenarnya bisa menggandakan kapasitas KRL Jabodetabek yang saat ini berkisar 1,2 juta penumpang per hari hanya dengan investasi Rp9 triliun. 

Investasi ini sudah termasuk membangun jaringan rel ganda (double track) sepanjang 100 km senilai Rp6 triliun (biaya pembangunan rel Rp30 miliar per km) dan 50 rangkaian kereta senilai Rp3 triliun (Rp60 miliar per rangkaian). 

“Kalau Rp30 triliun untuk LRT digunakan mengembangkan KRL, penumpang yang diangkut bisa lebih dari tiga kali lipat atau 4 juta orang per hari. Belum lagi dari angkutan logistik yang melintasi jaringan rel KRL atau kereta konvensional itu,” ujarnya.

Masalah lain yang dia pertanyakan yakni ukuran rel (track gauge) 1.435 mm yang biasa dipakai untuk KA kecepatan di atas 200 km per jam. Padahal kecepatan LRT maksimum 60 km per jam sehingga cukup gunakan ukuran rel standar 1.067 mm.

Bambang Haryo mengatakan pemerintah seharusnya belajar dari proyek LRT Palembang, yang menghabiskan biaya Rp10,9 triliun tetapi sampai sekarang masih sepi penumpang.

Alokasi subsidi LRT Palembang pada 2020 disebut mencapai Rp180 miliar, naik dari tahun ini Rp123 miliar. Sejak beroperasi komersial, LRT Palembang hanya mengantongi pendapatan Rp1,1 miliar per bulan, sedangkan biaya operasionalnya mencapai Rp10 miliar. 

“Terlihat perencanaan proyek-proyek LRT amburadul. Ini berpotensi merugikan keuangan negara, sehingga perlu diaudit oleh BPK dan Kementerian Keuangan,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper