Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha luring mengharapkan adanya persamaan perlakuan dan aturan yang menyeluruh dengan pelaku usaha daring oleh pemerintah, pascaterbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No.80/2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N. Mandey mengatakan dia mengapresiasi terbitnya PP No.80/2019 tersebut. Beleid tersebut dinilai telah menjawab kebutuhan Indonesia terhadap peraturan yang mengatur ekosistem perdagangan daring dalam negeri.
“Namun, kami berharap, penerapan ketentuan persamaan perlakuan antara peritel luring dan daring benar-benar direalisasikan melalui peraturan turunan beleid tersebut. Tidak hanya mengenai tata niaganya saja, melainkan dari sisi fiskalnya, seperti perpajakan dan juga kewajiban pelaporan data,” katanya ketika dihubungi Bisnis.com, Rabu (4/12/2019).
Menurutnya, dengan adanya aturan dalam PP No.80/2019 mengenai pelaku usaha PMSE yang harus mengikuti ketentuan dan mekanisme perpajakan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, secara otomatis pelaku usaha perdagangan daring harus mendapatkan kewajiban perpajakan yang setara dengan pelaku usaha luring.
Dalam hal ini dia merujuk pada ketentuan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang yang diperjual belikan melalui platform dagang elektronik dan pajak penghasilan dari pelaku usaha perdagangan daring.
“Memang di PP biasanya ketentuannya tidak diatur secara perinci. Namun, di peraturan turunannya harus ada dong. Sebab, kami dari pelaku usaha offline dikenai peraturan perpajakan yang sangat ketat,” ujarnya.
Roy melanjutkan PP tersebut sejatinya telah memfasilitasi pemerintah untuk menetapkan ketentuan perpajakan yang adil, terutama untuk perusahaan dagang-el yang berasal dari luar negeri. Pasalnya, di pasal 7 ayat 3 beleid tersebut pelaku usaha PMSE luar negeri wajib menunjuk perwakilan di Indonesia.
“Dengan demikian, perwakilan tersebut sudah bisa disebut sebagai badan usaha tetap dan mereka harus punya perizinan usaha di sini. Otomatis, perusahaan itu sudah bisa dikenai pajak. Seperti halnya kami di ritel offline yang mengelola jaringan perusahaan dari luar negeri,” katanya.
Dia pun meminta adanya ketentuan yang jelas dalam beleid tersebut mengenai kewajiban pengutamaan produk lokal di gerai dagang-el.
Pasalnya, selama ini peritel luring sudah lebih dahulu diwajibkan menjual 80% produk lokal di gerainya melalui Peraturan Menteri Perdagangan No.70/2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
PINTU MASUK
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mengapresiasi langkah pemerintah menerbitkan PP No.80/2019. Menurutnya, PP itu dapat menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk mengatur secara lebih ketat bisnis perdagangan daring.
Namun dia menilai perlu adanya ketentuan turunan dari PP tersebut yang memperkuat kesetaraan antara pelaku usaha dagang daring dan luring. Salah satunya mengenai sistem perpajakan bagi pelaku usaha dagang el.
“Di aturan itu disebutkan pelaku PMSE harus mengikuti ketentuan perpajakan dan izin usaha yang ada. Namun kalau tidak segera dibuatkan peraturan turunannya, tentu tidak akan menciptakan level of playing field yang sama dengan pelaku usaha luring,” katanya.
Dia mengatakan, pemerintah tidak perlu ragu-ragu dalam memungut pajak dari pelaku usaha daring, seperti yang pernah dilakukan pemerintah ketika mencabut Peraturan Menteri Keuangan No. 210/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik pada tahun ini.
Dia mengakui pembuatan aturan mengenai perdagangan daring sangat rumit dan lebih sulit dibandingkan dengan perdagangan luring. Namun menurutnya, langkah tersebut harus tetap diambil pemerintah demi menyesuaikan dengan perkembangan sistem perdagangan yang ada saat ini.
Selain itu, dia mengusulkan perlunya penyesuaian aturan bagi pelaku usaha luring demi menciptakan kesamaan perlakuan dengan pelaku usaha daring. Menurutnya, pemerintah perlu mengurangi peraturan-peraturan yang tidak perlu bagi pelaku usaha daring.
“Misalnya ketentuan zonasi bagi ritel modern. Kalau dirasa tidak perlu, ya dicabut saja. Karena di dagang-el, tidak ada ketentuan seperti itu,” katanya.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung mengaku belum dapat berkomentar mengenai beleid tersebut.
“Kami masih mempelajarinya, sehingga kami belum bisa berkomentar,” jelasnya.
Hal senada diungkapkan oleh AVP of Public Policy and Government Relations Bukalapak Bima Laga. Dia mengaku sedang mempelajari beleid itu.
“Kami sedang pelajari PP tersebut dan mempertimbangkan masukan yang dapat diberikan kepada pemerintah agar selaras dengan kebutuhan industri kami,” katanya.
Sementara itu VP of Corporate Communications Tokopedia Nuraini Razak mengatakan PP No.80/2019 tersebut perlu dipertimbangkan karena tidak sejalan dengan upaya pemeritnah mendorong kemudahan berbisnis dan pertumbuhan UMKM baru.
“Selain itu dengan adanya aturan ini artinya yang boleh berbisnis online hanya pengusaha besar dan memiliki izin. Padahal dengan kemudahan berbisnis online, pengusaha yang awalnya sampingan atau coba-coba, akhirnya bisa jadi usaha serius dan kemudian memiliki izin,” ujarnya
Selain itu dia juga menyoroti tidak jelasnya tata cara penegakkan aturan tersebut ke platform sosial media dan pesan singkat yang banyak berisi transaksi informal, tidak termediasi, dan rentan akan penipuan
“Bayangkan, lewat aturan ini, model bisnis marketplace c2c harus melakukan penyesuaian dengan hanya menerima merchant yang sudah besar dan memiliki izin,”.
Sementara itu, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan terbitnya PP tersbeut merupakan salah satu upaya pemerintah menciptakan persamaan level persaingan antara pedagang daring dan luring. Dia pun mengaku sudah menyiapkan aturan turunan untuk memperkuat beleid tersebut.
“Ïntinya PP ini sudah memenuhi upaya pemerintah menciptakan persamaan perlakuan dan persaingan antara dagang-el dan pedagang offline. Kami akan akan segera keluarkan peraturan pendukunya dalam waktu dekat,” katanya.