Bisnis.com JAKARTA - Industri perfilman membutuhkan stimulus fiskal berupa pendanaan dalam bentuk endowment fund dan insentif pajak.
Deputi Hubungan Antar Lembaga dan Wilayah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Endah Wahyu Sulistiani menuturkan dalam waktu dekat pihaknya bersama pelaku perfilman akan mengajukan skema pendanaan berupa endowment fund ke Kementerian Keuangan.
Dia menuturkan munculnya usulan tersebut berawal dari hasil penelitian LIPI atas laporan pelaku perfilman Indonesia yang mengeluhkan banyaknya potongan pajak. Mulai dari pajak pra-produksi, pajak produksi, pajak pascaproduksi hingga pajak setelah film tersebut tayang di layar.
“Jadi memang banyak sekali potongan pajaknya, lebih besar dari return yang mereka terima. Nah karena itu mereka meminta ada kebijakan khusus dalam insentif fiskal untuk memudahkan perfilman ini supaya tumbuh, karena pajak ini memberatkan mereka mengembangkan industri perfilman,” kata Endah, Rabu (27/11/2019).
Endah menuturkan sebetulnya selama ini pemerintah pusat sudah memberikan banyak insentif fiskal untuk industri perfilman. Hanya saja, insentif-insentif tersebut dirasa masih kurang memenuhi kebutuhan pelaku perfilman.
Kendati, pihak Kemenkeu masih enggan memberikan insentif fiskal tambahan bagi industri film. Ini karena, kontribusi pajak dari perfilman masih sangat rendah yaitu senilai Rp225 miliar pada 2015 atau 0,02% dari total penerimaan pajak nasional.
“Itu yang menjadi justifikasi mereka kenapa tidak memberikan insentif lagi pada industri film.”
Skemanya, endowment fund tersebut nanti bisa diambil dari APBN, CSR, dan pungutan pajak yang diperoleh dari pelaku industri film.
“Jadi mereka [pelaku perfilman] itu maunya pajak yang diambil dikembalikan lagi ke mereka, dan itu sebetulnya suatu hal yang wajar di negara ASEAN. Skala daerah, itu sebetulnya juga sudah dilakukan oleh pemda DKI Jakarta jamannya pak Fauzi Bowo.”
Endah berharap jika usulan endowment fund itu disetujui oleh Kemenkeu, segala kendala pendanaan film bisa teratasi mulai dari tahap distribusi, produksi hingga ekshibisi.
“Di negara lain kalau produsen film kesulitan dapat akses modal dia bisa mengajukan ke perwalian perfilman dalam bentuk grant, hibah, kredit, Indonesia gak punya itu.”
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Nika Pranata menjabarkan beberapa alasan kenapa diperlukannya dana abadi untuk perfliman, di luar dana abadi yang telah dicanangkan untuk pemajuan budaya.
Pertama, terbatasnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia perfilman di Indonesia. Kedua, terbatasnya akses masyarakat terhadap film. Ketiga, terbatasnya pendanaan untuk produksi film. Keempat, rendahnya penguasaan dan pengadopsian teknologi perfilman di Indonesia dan kelima rendahnya konektivitas dengan jaringan perfilman internasional.
“Soal insentif pajak sendiri untuk perfilman itu memang sudah ada, cuma memang perlu lebih digencarkan sosialisasinya. Akan tetapi, selain itu juga tetap diperlukan pendanaan lain salah satunya yang bisa dilakukan adalah endowment ini,” kata Nika.
Staf Ahli Menkeu Bidang Kebijakan Penerimaan Negara Robert Leonard Marbun mengatakan pihaknya perlu mengkaji terlebih dahulu adanya usulan endowment fund untuk perfilman. Menurutnya, hal itu harus disesuaikan terlebih dahulu dengan APBN, dan juga value added dari industri tersebut.
“Kalau dana perwalian itu kami lihat dulu APBN, selain itu kami juga perlu lihat value added differentiationnya apa. Ini kan sudah ada LPDP, budaya, riset, itu kan tiap tahun akan ditambah. Apapun dananya kami sedang garap aturannya. Aturannya gak kaku tapi juga gak los juga,”kata Robert.
Sementara itu, Anggota APROFI Fauzan Zidni yang juga merupakan produser dari film ‘Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak’ menuturkan pelaku industri perfilman menyambut baik apapun bentuk bantuan pendanaan yang diberikan oleh pemerintah.
“Kami menyambut baik, ini sebetulnya udah berkali –kali dibahas, karena selama ini kami hanya mendapat funding dari luar negeri. Kalaupun misalnya ada project yang dibiayai negara itu gak untuk komersil, gak bisa diakses semua orang,” kata Fauzan.
Pada pekan ini, imbuhnya, sudah ada 3 project film Indonesia yang mendapatkan Southeast Asia Co-Production Grant dari Singapore Film Commission, 1 project dari World Cinema Fund Berlin Film Festival, dan 1 project dari Hubert Bals Fund Voices dari ratusan proyek lain yang mengajukan aplikasi.
“Dukungan funding dan grant film internasional selama ini membantu mulainya atau penyelesaian film berkualitas dari filmmaker Indononesia.Sudah saatnya pemerintah Indonesia juga terlibat memberikan bantuan proyek film yang memiliki kualitas artistik, potensi co-produksi internasional dan distribusi internasional.”
Terkait dengan mekanisme pendanaan tersebut, Fauzan lebih menyerahkan sepenuhnya kepada pemangku kebijakan.