Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Produksi Bahan Baku Baterai di Morowali Terkendala Isu Lingkungan

Saat ini ada dua produsen bahan baku baterai kendaraan listrik di Morowali yakni PT Material Energy Baru QMB dan PT Huayue Nickel Cobalt.
Produksi prototipe sel baterai masa depan./BMW
Produksi prototipe sel baterai masa depan./BMW

Bisnis.com, JAKARTA – PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) menyatakan pembangunan bahan baku baterai di Morowali masih terhambat isu lingkungan, khususnya persetujuan terkait pengelolaan limbah hasil produksi dan ketersediaan bahan baku bagi industri daur ulang baterai.

Penasehat Teknis IMIP I Wayan Prenata mengatakan ada dua produsen bahan baku baterai kendaraan listrik yakni PT Material Energy Baru QMB dan PT Huayue Nickel Cobalt. Keduanya memiliki kapasitas produksi 110 kiloton nikel per tahun dan 11,8 kiloton kobalt per tahun dalam bentuk bijih campuran dengan teknologi high preasure acid leach (HPAL).

“[Limbah kimia hasil produksi] akan disimpan di laut dalam. Jadi, hal tersebut akan menjadi salah satu tantangan untuk mendapatkan izin produksi dari pemerintah dan masyarakat,” ujarnya dalam Electric Vehicle Indonesia Forum & Echibition, Rabu (27/11/2019).

Prenata mengatakan teknologi HPAL digunakan untuk mengubah bijih nikel dalam lapisan Limonite menjadi bijih campuran yang terdiri dari nikel, kobalt, dan mangan. Sampai saat ini, hanya  PT Material Energi Baru-QMB yang mengolah bijih campuran tersebut menjadi nikel sulfat, kobalt sulfat, dan mangan sulfat.

Sementara itu, PT Huayue Nickel Cobalt hanya memproduksi bijih campuran dengan kandungan nikel sebesar 60 kiloton per tahun dan kobalt sebesar 7,8 kiloton per tahun. Kedua pabrikan tersebut menelan total investasi setidaknya US$2,27 miliar dengan pendapatan penjualan masing-masing produksi sekitar US$777 juta per tahun.

Selain pabrikan hulu industri baterai kendaraan listrik, Prenata berujar kini juga dibangun pabrikan daur ulang baterai yakni PT Indonesia Puqing Recycling Technology. Adapun, pabrikan tersebut memiliki kapasitas terpasang mengolah nikel-kobalt-mangan hidroksida sebesar 12.000 ton per tahun.

“Industri daur ulang baterai harus mengimpor bahan bakunya [baterai lithium bekars] karena bahan baku di dalam negeri tidak cukup. Kami perlu mengimpor baterai kendaraan listrik bekas dari China dan hal tersebut memerlukan izin karena baterai bekas merupakan limbah B3 [berbahaya dan beracun],” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Andi M. Arief
Editor : Galih Kurniawan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper