Bisnis.com, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyebut sebagian besar peritel modern dari Indonesia, terutama yang bergerak di segmen toko kelontong (minimarket atau convenience store), punya keinginan untuk berekspansi ke Vietnam.
Nielsen mencatat bahwa pertumbuhan penjualan barang konsumsi untuk kebutuhan sehari-hari (fast moving consumer goods/FCMG) di Vietnam pada 2018 mengalami kenaikan sebesar 13% dengan jumlah gerai minimarket dan convenience store mencapai 1.812 gerai atau naik 45,5% dibandingkan 2017.
Sementara itu, hingga September 2019 B& Company Japan mencatat ada 2.520 gerai minimarket dan convenience store yang beroperasi di Vietnam dari 14 jenama yang hadir dari tujuh negara yang berbeda.
Selain itu, Bank Dunia memproyeksi pertumbuhan kelas menengah di Vietnam pada 2026 akan mencapai 26% dari total populasi. Pada 2018, tercatat jumlah kelas menengah di Vietnam mencapai 11,64 juta jiwa atau 13% dari total populasi sebanyak 97,04 juta jiwa.
Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey mengatakan keinginan sebagian besar peritel modern dari Indonesia untuk memperluas usahanya ke Negeri Paman Ho hingga kini urung terlaksana lantaran tak mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah.
“Usaha kita untuk ekspansi ke luar negeri ini perlu didukung juga dengan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah [berupa] harmonisasi atau relaksasi [peraturan] sehingga kita majunya [bisa] lebih kuat atau lebih bersemangat lagi. Kita bicara saja ekspansi yang di Vietnam tadi bagaimana mungkin kalau kita tidak difasilitasi oleh pemerintah,” katanya ketika ditemui oleh Bisnis.com.
Selain dukungan berupa harmonisasi atau relaksasi peraturan, Roy menyebut Pemerintah Indonesia perlu membantu peritel modern yang berkeinginan untuk memperluas usahanya ke luar negeri melalui upaya negosiasi dengan pemerintah negara tujuan ekspansi terkait dengan hal perizinan hingga operasional yang sangat kompleks.
Tanpa adanya upaya negosiasi tersebut, menurutnya sebagian besar peritel modern dari Indonesia akan berpikir ulang untuk berekspansi ke luar negeri.
“Misalnya dalam hal tarif, bea masuk, hingga distribusi di sana. Karena dalam bisnis ritel modern itu dibutuhkan pusat logistik untuk penyaluran barang. Belum lagi bongkar muat produk yang datang dari Indonesia di pelabuhan setempat sebelum masuk ke pusat logistik. [Hal tersebut] harus difasilitasi, harus dikomunikasikan secara G to G (government to government) kalau kita yang cari tahu sendiri kemudian kita sendiri yang bernegosiasi tentu nggak maksimal,” paparnya.
Lanjut Roy, saat ini pihaknya menaruh harapan besar kepada kabinet Presiden Joko Widodo periode 2019-2024 atau Kabinet Indonesia Maju untuk mewujudkan hal tersebut.
Menurutnya mendorong ekspansi peritel modern dari Indonesia ke luar negeri merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengingkatkan ekspor produk-produk karya anak bangsa.
“Perlu adanya kebersamaan antara pelaku usaha dan pemerintah dalam hal ini kementerian terkait yang punya wewenang dalam perdagangan luar negeri, ini tentu yang kita harapkan dari kabinet baru,” tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementerian Perdagangan mengatakan selama ini pihaknya telah memberikan sejumlah fasilitas bagi pelaku usaha di Tanah Air yang berkeinginan untuk ekspansi ke luar negeri, tak terkecuali peritel modern.
Adapun fasilitas yang dimaksud adalah memberikan kesempatan kepada pelaku usaha tersebut untuk mendapatkan akses pasar ke luar negeri melalui pameran dan misi dagang.
“Untuk peritel modern tak berbeda dengan pelaku usaha lainnya yang ingin mengekspor produknya. Mengikutsertakan mereka ke pameran-pameran perdagangan dan misi-misi dagang, business matching atau buying mission untuk mendapatkan akses pasar. Kami juga memfasilitasi pelatihan, mencarikan informasi mengenai negara tujuan [ekspor], hingga melakuan digital marketing,” katanya kepada Bisnis.com.
Selain, itu menurut Dody pihaknya juga mengupayakan agar pelaku usaha yang berkeinginan memperluas usahanya ke luar negeri dapat dengan mudah mendapatkan pembiayaan dari pihak perbankan.
Adapun selama ini Kemendag telah bekerjasama dengan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank untuk fasilitas pembiayaan ekspor, pelatihan, bimbingan teknis, serta orientasi dan diseminasi informasi.
“Kami mendorong pihak perbankan untuk memberikan pembiayaan [bagi pelaku usaha] yang ingin mengekspor produknya. Salah satunya ada Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang sudah melakukan hal tersebut, khusus untuk pelaku usaha yang telah menjadi nasabahnya tapi,” ungkapnya.
Sementara itu, Corporate Communication General Manager PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk. (AMRT) Nur Rachman mengatakan pihaknya belum memiliki rencana untuk berekspansi ke Vietnam dalam waktu dekat.
Namun yang jelas, pada 2013 sempat muncul kabar bahwa pengelola jaringan minimarket Alfamart berencana membuka gerai di Vietnam.
Sayangnya, rencana tersebut urung dilakukan lantaran rumitnya proses perizinan dan belum adanya kecocokan skema kerjasama dengan mitra setempat.
Adapun untuk ekspansi ke luar negeri, saat ini Sumber Alfaria Trijaya diketahui fokus menambah jumlah gerainya di Filipina.
Sampai dengan akhir akhir 2018, tercatat Sumber Alfaria Trijaya mengoperasikan sekitar 400 gerai Alfamart di Filipina. Hingga akhir tahun 2019 ditargetkan jumlah gerai tersebut akan bertambah sampai dengan 600 gerai.
Ekspansi Sumber Alfaria Trijaya ke Filipina dilakukan melalui anak usahanya Alfamart Retail Asia Inc. yang kerjasama dengan peritel modern setempat SM Retail Inc pada 2014. Kemudian pada 2018 Alfamart Retail Asia mendirikan perusahaan patungan dengan SM Retail bernama DC Properties Management Corp dengan porsi kepemilikan saham SM Retail dan Alfamart Retail Asia masing-masing 60% dan 40%.
Duta Besar Indonesia untuk Vietnam Ibnu Hadi mengatakan Vietnam merupakan pasar sangat yang potensial bagi bisnis ritel modern. Berdasarkan pengamatannya sejak bertugas di Vietnam sejak 2015, gerai ritel modern semakin menjamur baik yang berada di pusat perbelanjaan maupun yang berdiri sendiri (standalone).
“Semakin banyak, menjamur di mal-mal atau pusat perbelanjaan. Tapi yang paling terlihat itu [gerai minimarket atau convenience store] seperti Circle K, Family Mart, dan Lawson di kota-kota besar mudah ditemukan dan terlihat ramai [pengunjungnya]. Kelas menengah atau orang kaya baru terus tumbuh, konsumsi ikut meningkat, tentunya ini peluang bagi [peritel modern dari] Indonesia untuk masuk,” katanya ketika ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.
Lanjut Hadi, saat ini terdapat dua peritel modern dari Indonesia yang sudah beroperasi di Vietnam yakni jaringan apotek Century Healthcare yang dikelola oleh PT Perintis Pelayanan Paripurna dan sejumlah gerai jenama terkemuka dunia yang dikelola oleh PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) melalui anak usahanya Mitra Adiperkasa Vietnam Co. Ltd.
Sama seperti di Tanah Air, gerai jenama terkemuka dunia yang dikelola oleh Mitra Adiperkasa di Vietnam mencakup gerai fesyen, olahraga, makanan dan minuman (food and beverages/FnB), toko serba ada (department store), hingga toko buku.
Adapun terkait dengan upaya mendorong ekspansi peritel modern dari Indonesia ke Vietnam, Hadi mengaku telah menjalin komunikasi dengan sebagian dari mereka selama beberapa tahun terakhir dan menyatakan kesiapannya untuk membantu.
Dia menyebut sudah ada peritel modern dari Indonesia yang menyatakan minatnya untuk berekspansi ke Vietnam. Sayangnya, dia enggan memberikan keterangan lebih lanjut siapa peritel modern yang dimaksud.
Lanjut Hadi, selama beberapa tahun terakhir kinerja perdagangan Indonesia dengan Vietnam cukup menggembirakan lantaran berhasil mencatatkan surplus.
Transaksi perdagangan kedua negara sepanjang Januari-Juni 2019 tercatat mencapai US$4,26miliar dengan surplus sebesar US$1,04 miliar untuk Indonesia atau tertinggi dalam 3 tahun terakhir.
“Jika peritel modern dari Indonesia masuk [ke Vietnam] tentu akan semakin menggembirakan. Karena [gerai] mereka bisa jadi sarana untuk memasarkan produk-produk Indonesia di Vietnam,” pungkasnya.