Bisnis.com, JAKARTA— Kalangan pengusaha memilih untuk menunggu pembentukan kabinet baru sebelum membahas rencana dan usulan revisi Undang-Undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menjelaskan, para pengusaha saat ini masih meninjau poin-poin revisi UU Ketenagakerjaan dalam lembaga kerja sama (LKS) tripartit.
“Sementara ini kami silent dahulu agar tidak menimbulkan salah tafsir atau diputarbalikkan oleh pihak-pihak tertentu yang justru akan menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu,” ujar Hariyadi kepada Bisnis.com, baru-baru ini.
Dia menegaskan para pengusaha sepakat untuk memberikan masukan soal revisi beleid tersebut pascapembentukan kabinet baru pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo. Sebab, para pengusaha masih wait and see tentang sosok yang akan menjadi menteri tenaga kerja. “Nanti ya, setelah kabinet baru terbentuk.”
Wakil Ketua Apindo Bidang Ketenagakerjaan Harjanto mengaku selama ini memang belum ada pembahasan soal revisi UU tersebut.
Namun, dia mengatakan beleid tersebut memang sudah saatnya dibenahi. Apalagi, hingga saat ini sudah ada sekitar 20 pasal dalam UU tersebut yang digugat di Mahkamah Konstitusi.
“Wah, banyak itu [klausul yang tidak relevan]. Dari putusan MK saja ada 20 pasal lebih. Artinya, UU tersebut sudah compang-camping karena banyaknya putusan MK.”
Berdasarkan catatan Bisnis, sebagian besar pasal yang digugat berkaitan dengan masa kerja pegawai kontrak, upah dan pesangon, hingga pernikahan dengan rekan satu kantor.
Harjanto juga menyinggung soal besaran upah minimum. Selama 5 tahun terakhir, upah minimum naik rata-rata 8,2% per tahun. Namun, hal tersebut tak diimbangi dengan kenaikan produktivitas pekerja.
Dihubungi secara terpisah, Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) M. Rusdi kembali menegaskan bahwa pihak buruh sampai saat ini menolak adanya revisi UU Ketenagakerjaan. Sebab, dia menilai pasal-pasal dalam beleid itu masih cukup relevan dengan kondisi ketenagakerjaan saat ini.