Indonesia Butuh Maskapai Baru?
Head of the Digital Economics and Behavioral Economics Study Group LPEM Universitas Indonesia Chaikal Nuryakin menilai pemerintah telah membangun tembok yang terlalu tinggi untuk mengadang masuknya investasi di aviasi melalui beragam regulasi yang diterbitkan. Bahkan, dibandingkan dengan negara tetangga, regulasi Indonesia masih lebih ketat.
“Terdapat empat faktor yang menghambat yakni hambatan masuk bagi maskapai baru, kepemilikan asing, rute penerbangan, dan tarif batas,” kata Chaikal.
Dia menjelaskan hambatan pertama terkait peluang hadirnya maskapai baru di Indonesia, yakni mengenai persyaratan kepemilikan pesawat.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) No.1/2009 tentang Penerbangan, maskapai berjadwal diwajibkan minimal memiliki 5 unit pesawat dan 5 unit yang dimiliki melalui perjanjian sewa. Sebagai perbandingan, Malaysia hanya mewajibkan memiliki 2 unit pesawat secara leasing dan kepemilikan penuh.
Hambatan lain soal kepemilikan asing. Indonesia mengatur adanya kepemilikan saham mayoritas sebesar 51% dari dalam negeri dan 49% oleh asing.
Dia menyebutkan hanya Indonesia yang mengatur soal single domestic majority. Negara lain seperti India bahkan memberi ruang bagi pihak asing hingga 100%, tetapi untuk menjaga aspek nasionalisme mereka mewajibkan 2/3 jajaran direksinya dan pemimpin adalah warga negaranya.
Selain itu, hambatan dalam Asean Open Sky. Saat ini Asean Single Aviation Market (ASAM) hanya mempertimbangkan hak angkut ketiga, hak angkut keempat, dan hak angkut kelima, sedangkan di wilayah lain seperti Uni Eropa sudah menerapkan hak angkut ketujuh.
Chaikal menuturkan jumlah populasi yang besar dan wilayah udara yang luas sering disebut sebagai alasan untuk tidak terlalu mengejar komitmen ASAM. Terlebih ada risiko dimanfaatkan oleh operator asing.
Terakhir, imbuhnya, adalah soal batasan harga tiket. Pemerintah telah melakukan pengaturan tarif batas atas dan tarif batas bawah. Maskapai diminta untuk menyesuaikan harga tiket selama low season. Hal tersebut berdampak pada keuntungan dalam jangka panjang.
Principal Consultant in Aviation Ian Ventures Sdn Bhd. Jaafar Zamhari mengatakan bahwa sejumlah faktor yang dapat menghambat industri maskapai di Indonesia harus segera diuraikan.
Alasannya, sejumlah regulasi yang ada memang berpotensi membuat industri kurang kompetitif seperti terkait dengan kepemilikan pesawat bagi calon investor yang ingin menggarap pasar Indonesia.
Dia mencontohkan, Malaysia sudah mengizinkan maskapai beroperasi, cukup dengan minimal 4 unit pesawat, dan tidak perlu sebanyak di Indonesia.
Perubahan UU No. 1/2019 dinilai bisa menjadi solusi instan bagi berbagai masalah sektor penerbangan di Indonesia.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mendukung adanya liberalisasi penerbangan untuk membuat kompetisi yang luas tanpa mengorbankan kedaulatan nasional. Namun, tetap mengacu kepada peraturan yang ada yaitu penanaman modal asing maksimal 49%, pemilik modal nasional harus tetap lebih besar minimal 51% dari keseluruhan pemilik modal asing dan menerbangi tidak hanya di rute-rute sangat padat.
Budi Karya menjelaskan sebagai solusi jangka pendek pemerintah telah menurunkan TBA melalui Keputusan Menhub No. 106/2019. Kemudian, lanjutnya, bersama dengan koordinasi Menko Perekonomian merumuskan solusi jangka menengah dan panjang.
Beberapa hal yang diatur mencakup pada aspek peningkatan efisiensi pada operasi maskapai, penurunan biaya yang dibebankan kepada maskapai, insentif fiskal dan non fiskal, dan kebijakan lain untuk menjadikan industri penerbangan semakin kompetitif, efesien dan harga tiket terjangkau.