Bisnis.com, JAKARTA – PT Pupuk Indonesia (Persero) menyatakan mampu menurunkan rasio penggunaan bahan baku untuk produksi atau consumption rate pada tahun ini setelah menjalankan sejumlah strategi untuk meningkatkan daya saing produk di pasar global.
Kepala Komunikasi Korporat Pupuk Indonesia Wijaya menjelaskan rasio tersebut menggambarkan perbandingan antara bahan baku yang dibutuhkan untuk menghasilkan per ton produk. Saat ini pihaknya mencatatkan consumption rate di kisaran 27,7 million british thermal unit (MMBTU)/ton pupuk urea. Realisasi itu, turun dari rasio pada 2018 yang tercatat sebesar 28,4 MMBTU/ton.
"Consumpstion rate kami mengalami penurunan," ujarnya kepada Bisnis pekan lalu.
Efisiensi penggunaan bahan baku, yang sekitar 70% berupa gas bumi untuk produksi pupuk urea, itu tidak terlepas dari upaya holding BUMN di sektor pupuk dalam melakukan sejumlah strategi. Salah satu upaya yang digalakan Pupuk Indonesia adalah menghemat konsumsi gas untuk sejumlah kegiatan di luar produksi inti.
Dia mencontohkan pengurangan penggunaan gas itu melalui substitusi bahan bakar untuk pembangkit listrik dan steam.
“Untuk pembangit listrik dan untuk mesin uap atau steam itu kami gunakan batu bara. Sejauh ini sudah ada hasilnya [efisiensi dengan penurunan konsumsi gas],” ujarnya.
Wijaya mengatakan pihaknya juga berupaya melakukan revitalisasi pabrik. Dia menjelaskan upaya itu direalisasikan melalui pembangunan pabrik baru untuk menggantikan fasilitas yang sudah usang.
Menurutnya, Malaysia baru-baru ini menambah kapasitas produksi melalui pabrik baru dan terbukti lebih efisien. Untuk produksi 1 ton pupuk, katanya, gas yang dibutuhkan untuk produksi oleh pabrik yang sudah cukup lama beroperasi berkisar US$35 – US$40 MMBTU.
Padahal, pabrik baru hanya membutuhkan sekitar US$26 - US$27 per MMBTU untuk produksi 1 ton pupuk. “Itu perbedaannya besar sekali [untuk biaya produksi].
”Terkait harga gas, Wijaya mengakui bahwa saat ini pihaknya masih mampu menghasilkan produk yang cukup kompetitif dengan bahan baku tersebut. Namun, dia juga mengakui bahwa ke depan persaingan antarnegara di sektor pupuk kian sengit. Sejumlah negara lain, katanya, ditunjang dengan harga bahan baku gas yang relatif lebih rendah.