Bisnis.com, JAKARTA -- Dalam menghadapi kemungkinan resesi ekonomi global 2020, populisme kuat di Indonesia menjadi faktor kontraproduktif yang menghalangi ekspansi ekonomi.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan, seturut teori Stagnansi Sekuler, tak melulu suku bunga rendah bisa mendorong investasi. Sebaliknya pula pada relasi inflasi yang rendah belum tentu penyerapan tenaga kerja rendah, justru di Indonesia inflasi yang rendah, penyerapan tenaga kerja masih tinggi.
Dia menyebut pada era perlambatan ekonomi global era digital, yakni Slowbalisation, secara politik Indonesia tak menguntungkan.
Dia beralasan salah satu pemicu utama adalah cuaca populisme kuat yang ini perlu diantisipasi.
"Indonesia tak arah kesana [pertumbuhan ekonomi] kalau dosis politik makin ada maka Pak Jokowi mengontrol politik," kata Yustinus di Cafe a la Ritus Pasar Baru, Senin (23/9/2019).
Dia menyebut, pajak bisa menjadi sarana mengontrol politik dan politisi. Khususnya secara domestik perlu antisipasi atas populisme.
Hal ini diperparah dengan Total Factor Productivity Indonesia masih rendah. Alhasil, peringkat Incremental Capital Output Ratio (ICOR) masih rendah. Apalagi, keran impor dari sektor produktif masih tinggi.
"Padahal pertumbuhan jasa dan non tradeable lebih tinggi dari yang tradeable," tuturnya.
Harapannya dengan penataan sumber daya manusia dalam populisme, ketika terjadi krisis global secara nasional domestik tak terpengaruh. Selain itu dengan kontrol politik, hilirisasi industri bisa terpacu lebih cepat.
"Politik harus ditundukkan dalam skema teknokrasi yang baik dan kita kehilangan momentum dalam melihat peluang yang baik," jelas Yustinus.