Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PERANG DAGANG: Jika Trump Kembali Jadi Presiden AS, Ini yang Akan Terjadi

Perang dagang diprediksi masih akan berlanjut lebih lama jika Trump kembali berkuasa pada periode kedua.
Presiden AS Donald Trump saat menghadiri pertemuan dengan sejumlah perwakilan media sosial di Gedung Putih, Washington DC, AS, Kamis (11/7/2019)./Reuters-Carlos Barria
Presiden AS Donald Trump saat menghadiri pertemuan dengan sejumlah perwakilan media sosial di Gedung Putih, Washington DC, AS, Kamis (11/7/2019)./Reuters-Carlos Barria

Bisnis.com, DENPASAR -- Perang dagang diprediksi masih akan berlanjut lebih lama jika Trump kembali berkuasa pada periode kedua.

Ekonom Indonesia dari Cornell University Iwan Jaya Azis menyatakan kebijakan kepemimpinan Presiden Trump di Amerika Serikat (AS) memang menjadi salah satu pemicu perang dagang antar negara. 

Iwan menyebut kondisi proteksionisme perdagangan masih akan berlanjut, bahkan lebih dari 2020 yang menjadi momentum pemilihan presiden AS.

"Ini [perang dagang] masih akan berlanjut, sejauh Trump masih presiden," ujar Iwan di The Anvaya Hotel, Kamis (29/8/2019).

Dia menjelaskan kondisi proteksionisme ini sebenarnya secara jelas telah membuat resesi pada perekonomian AS. Iwan menilai imbas perang dagang pada resesi ekonomi global tersebut akan berefek juga pada anjloknya pertumbuhan ekonomi di AS.

Menanggapi kondisi perang dagang, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan saat ini karakteristik dunia adalah meredanya globalisasi dan meningkatnya digitalisasi.

Alhasil, semakin banyak negara yang mengandalkan kapasitas internal,  seiring semakin menegangnya perdagangan internasional.

Oleh sebab itu BI menerapkan bauran kebijakan bank sentral. Dari segi moneter, misalnya kebijakan pelonggadan suku bunga, stabilisasi nilai tukar sesuai fundamentalnya, dan pengendalian likuiditas.

Dari sisi makroprudensial antara lain kebijakan uang muka, rasio intermediasi prudensial. Keduanya ini menjadi kolaborasi kebijakan bank sentral.

"Selain itu juga bauran kebijakan BI dan pemerintah yakni bagaimana koordinasi kebijakan moneter dan fiskal dan reformasi struktural untuk stabilitas makroekonomi," terang Perry.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper