Bisnis.com, JAKARTA -- Indonesia menyatakan tetap akan mematuhi ketentuan Organisasi Maritim Dunia (IMO) mengenai kewajiban kapal menggunakan BBM bersulfur rendah mulai 1 Januari 2020.
Sekretaris Umum DPP Indonesian National Shipowners' Association (INSA) Budhi Halim mengatakan kapal-kapal Indonesia, baik yang berlayar di perairan internasional maupun dalam negeri, akan menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur maksimal 0,5 persen mass by mass(m/m), sesuai Marine Pollution (Marpol) Convention Annex VI Regulasi 14.
Sebagai alternatif, kapal tetap dapat menggunakan bahan bakar dengan sulfur di atas 0,5 persen, tetapi wajib memasang exhaust gas cleaning system atau scrubber.
"Indonesia sudah meratifikasi dan konsisten dalam menerapkan aturan-aturan yang ditetapkan konvensi internasional. Itu berlaku untuk seluruhnya [kapal yang berlayar di perairan internasional maupun perairan Indonesia]," katanya kepada Bisnis.com, Rabu (7/8/2019).
Sebelumnya, Reuters memberitakan Indonesia tidak akan menerapkan aturan IMO mengenai kewajiban menggunakan bahan bakar bersulfur rendah pada kapal domestik karena harganya yang mahal. Oleh karena itu, Kementerian Perhubungan akan memperbolehkan kapal berbendera Indonesia menggunakan bahan bakar dengan sulfur maksimal 3,5 persen di perairan teritorialnya, tanpa scrubber.
Budhi juga mengatakan potensi lonjakan harga marine fuel oil (MFO) bersulfur 0,5 persen karena peningkatan permintaan dan keterbatasan pasokan memang menjadi pertanyaan INSA.
Berdasarkan informasi dari Pertamina, harga bahan bakar bersulfur rendah bisa lebih mahal 15 persen-20 persen dari bahan bakar bersulfur tinggi.
Para pemilik kapal sedang mempertimbangkan apakah kenaikan harga bahan bakar ini setara dengan investasi pembelian scrubber yang mencapai US$1,5 juta atau sekitar Rp20 miliar.
Pasokan MFO bersulfur rendah juga menjadi tantangan mengingat produksi dalam negeri hanya 380.000 kl per tahun. Adapun INSA mengusulkan penambahan pasokan setidaknya dua kali lipat untuk mengantisipasi peningkatan permintaan.
Sejauh ini, INSA, Pertamina, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sepakat untuk mempertimbangkan impor.