Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Memandang Jernih Sengketa Transfer Pricing

Selama ini manipulasi transfer pricing merupakan skema penghindaran pajak yang paling dominan (Heckemeyer dan Overesch, 2013).
Ilustrasi pajak/Istimewa
Ilustrasi pajak/Istimewa

Selama ini manipulasi transfer pricing merupakan skema penghindaran pajak yang paling dominan (Heckemeyer dan Overesch, 2013). Karena itu, tak mengherankan jika OECD-G20 mengulas transfer pricing dalam 4 dari 15 rencana aksi Base Erosion and Profit Shifting, terbanyak di antara isu lain.

Banyak negara sudah membentengi basis pajaknya melalui ketentuan anti-penghindaran pajak. Hal tersebut dilakukan antara lain melalui penerapan prinsip kewajaran (arm’s length principle/ALP) dan persyaratan format baru dokumentasi transfer pricing.

Indonesia sendiri telah memiliki ketentuan yang lengkap dalam pencegahan manipulasi transfer pricing, mulai dari panduan analisis, prosedur pemeriksaan, dokumentasi, maupun penyelesaian sengketa di tingkat internasional. Lantas, apa yang seharusnya dikhawatirkan?

MUARA PERSOALAN

Harus diakui, sebagian masyarakat masih memandang definisi transfer pricing dari sisi negatif. Akibatnya, dalam praktik seringkali muncul kegaduhan tentang indikasi kecurangan, ketimbang melihat secara jernih hal-hal yang dipersoalkan.

Padahal, transfer pricing merupakan konsekuensi logis dari strategi grup perusahaan yang bertujuan untuk menciptakan keunggulan kompetitif melalui sinergi antarafiliasi. Transfer pricing baru dianggap manipulatif jika transaksi antarafiliasi itu mempunyai motif menghindari beban pajak global. 

Terhadap manipulasi tersebut, otoritas pajak hanya berwenang melakukan koreksi jika harga atau laba atas transaksi itu tidak wajar. Dalam praktik, upaya menentukan apa dan berapa yang disebut wajar inilah yang kerap menimbulkan sengketa. Hal tersebut terjadi paling tidak karena dua hal.

Pertama, ALP mensyaratkan harga atau laba perusahaan pembanding untuk menguji kewajaran transaksi antarafiliasi. Pada kenyataannya, sangat sulit menemukan pembanding yang sempurna baik dari sisi karakteristik produk, value chain, volume, strategi bisnis, hingga geografis.

Menurut Hakim Hogan ”..transfer pricing is largely a questions of facts and circumstances coupled with a high dose of common sense..” (Darussalam, Septriadi, Kristiaji, 2013). Pentingnya fakta dan kondisi itu juga dinyatakan PER 22/PJ/2013 dan SE 50/PJ/2013 tentang pemeriksaan transfer pricing.

Kedua, transfer pricing is not an exact science. Upaya menentukan harga atau laba yang wajar bukan merupakan ilmu pasti, sehingga proses tersebut sering sarat perdebatan dan menimbulkan sengketa. Apa yang dianggap wajar otoritas pajak maupun wajib pajak acap bersifat arbitrary

Untuk menyelesaikan perdebatan itu, OECD menyarankan penggunaan rentang kewajaran secara statistik dan bukan pendekatan melalui harga atau laba tunggal. Hal tersebut direkomendasikan guna memudahkan pencarian titik temu dan merefleksikan minimnya pembanding yang sempurna. 

SENGKETA

Maraknya sengketa memberikan ketidakpastian dan menggerus kepercayaan terhadap sistem pajak (Gangl, et.al., 2012). Selama 2017-2019, OECD-G20 telah merilis survei dan usulan untuk menciptakan kepastian sistem pajak. Salah satunya untuk mencegah dan menyelesaikan sengketa transfer pricing.

Usulan itu antara lain dokumentasi transfer pricing yang berisi fakta bisnis perusahaan multinasional dapat dipergunakan sebagai titik awal penilaian risiko. Selain itu, mekanisme penyelesaian sengketa melalui Mutual Agreement Procedure dan Advance Pricing Agreement harus dilakukan secara efektif.

Dalam konteks Indonesia, terdapat dua hal yang mendesak diatasi. Pertama, pencegahan sengketa. Penentuan harga atau laba wajar seharusnya dilakukan tanpa menimbulkan ketidakpastian, serta waktu yang berlarut bagi pihak yang bersengketa (justice delayed means justice denied).

Hal itu bisa dilakukan melalui konsistensi penggunaan rentang kewajaran, pemeriksaan berkualitas tanpa dibebani target penerimaan. Lalu diperkenankannya penelaahan sengketa fakta transfer pricing di tingkat Tim Quality Assurance, pemahaman model bisnis dan industri seperti tecermin dalam dokumentasi transfer pricing, dan penggunaan safe harbour.

Kedua, penyelesaian sengketa di tingkat banding. Sengketa berkepanjangan hingga pengadilan pajak hanya menghabiskan waktu dan biaya pihak bersengketa. Di tingkat banding, sengketa transfer pricing menjadi sengketa ‘menang seluruhnya atau kalah seluruhnya’ dengan nilai yang umumnya fantastis. 

Karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan penyelesaian sengketa di luar ranah pengadilan atau alternative dispute resolution/ADR (Thuronyi, 2013). Mediasi dan konsultasi di dalamnya diharapkan dapat menciptakan proses penyelesaian sengketa yang lebih efisien dan efektif. 

India misalnya, telah membentuk Dispute Resolution Panel khusus untuk menangani sengketa transfer pricing. Salah satu tujuannya adalah memperbaiki iklim investasi sekaligus mempercepat penyelesaian sengketa dalam waktu maksimum 9 bulan (Darussalam, Septriadi, Kristiaji, 2013).

Pada akhirnya, diperlukan peran aktif pemerintah untuk menempatkan arena transfer pricing secara proporsional, jernih, dengan memperhatikan dinamika regulasi global. Peran aktif tersebut tentu akan berkontribusi menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi geliat ekonomi dan investasi asing.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Danny Septriadi
Editor : Achmad Aris
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper