Penandatanganan revisi rencana pengembangan (PoD) Blok Masela, yang semula akan ditandangani pada 28 Juni 2019, ternyata ditunda. Penundaan tanda tangan revisi PoD, yang rencananya akan disaksikan oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Jepang Shinz Abe, sempat merebakkan spekulasi bahwa masih terjadi ketidaksepakatan revisi PoD. Media Relation Inpex Corporation Moch N. Kurniawan mengatakan bahwa pemerintah belum menyetujui revisi POD Blok Masela. Pernyataan Kurniawan itu diamini oleh Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto bahwa Pemerintah belum sepenuhnya menyetujui revisi PoD yang diajukkan oleh Inpex.
Pada saat penandatangan Head of Agreement (HoA) – antara SKK Migas dan Inpex yang disaksikan menteri Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang Hiroshige Seko – disepakati bahwa persetujuan revisi PoD akan ditandangani pada di Osaka Jepang, bersamaan perhelatan Summit G20. Namun, persetujuan HoA, yang ditandatangani di sela-sela G20 Ministerial Meeting on Energy Transitions di Karuizawa Jepang pada Minggu 16 Juni 2019, tidak dapat direalisasikan sesuai waktu ditetapkan dalam HoA.
Selain waktu penandatangan PoD, dalam HoA itu sudah disetujui pokok-pokok kesepakatan yang meliputi: keekonomian proyek, volume produksi, jumlah investasi dan nilai pengembalian investasi, serta pembagian keuntungan. Penetapan keekonomian proyek dengan perhitungan biaya berdasarkan hasil Pre-FEED. Jumlah investasi disepakati sebesar US$20 miliar, dengan tingkat pengembalian investasi yang diukur dengan Internal rate of return (irr) sebesar 15 persen. Pemerintah akan mendapatkan keuntungan bagi hasil dari Blok Masela hingga sebesar 59 persen, sedangkan Inpex sebesar 41 persen. Dalam POD itu juga diberikan kepastian perpanjangan pengelolaan Blok Masela hingga 20 tahun.
Kesepakatan HoA pada 16 Juni 2019 itu kemudian dituangkan dalam naskah revisi PoD yang masih harus direview oleh SKK Migas untuk disetujui pemerintah dalam waktu kurang dari dua minggu agar dapat ditandatangani pada 28 Juni 2019. Singkatya waktu yang tersedia bagi SKK Migas untuk mereview naskah revisi PoD itu barangkali menjadi salah satu penyebab ditundanya penandatangan kesepakatan akhir revisi PoD. Selain itu, untuk memastikan clean and clear pelaksanaan blok Masela, SKK Migas melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai upaya pencegahan potensi korupsi, baik pada saat proses konstruksi, maupun proses produksi.
Pelibatan KPK tersebut memang urgent, lantaran selain jumlah investasi yang dibenamkan dalam jumlah sangat besar, proyek blok Masela menggunakan contract regime Product Sharing Contract (PSC) dengan cost recovery. Dengan PSC, Pemerintah harus mengganti biaya pengembangan dan biaya produksi Blok Masela, yang dibebankan pada APBN. Penetapan besaran cost recovery itu rawan terjadinya moral hazard tindak pidana korupsi, yang berpotensi merugikan negara, sehingga pelibatan KPK diharapkan dapat mencegah potensi korupsi yang merugikan negara.
Namun review revisi PoD dan pelibatan KPK itu jangan sampai menunda terlalu lama penadatangan kesepakatan PoD, yang dapat menggangu jadual ditetapkan untuk proses konstruksi pada 2020 dan proses produksi pada 2027. Penundaan yang terlalu lama berpotensi membengkakkan pengeluaran investasi (Inpex) dan biaya operasional (Opex), yang akan dapat mengurangi keuntungan. Selain itu, penundaan itu juga dapat memperpanjang jangka waktu pengembalian investasi (return on investment), sehingga menurunkan tingkat internal rate of return (irr), yang sudah disepakati sebesar 15 persen.
Dengan ditundanya Blok Masela, berbagai manfaat (benefit) dan efek berganda (multiplier effect) bagi perekonomian nasional dan daerah Maluku juga akan tertunda. Oleh karena itu, penandatangan revisi jangan ditunda lebih lama lagi.
SKK Migas dituntut untuk segera menyelesaikan review revisi PoD dalam waktu dekat ini agar dapat disetujui pemerintah. Dalam waktu bersamaan, KPK juga harus mulai bekerja untuk memastikan bahwa Blok Masela clean and clear, sejak proses perencanaan, konstruksi, dan produksi, serta penetapan cost recovery.
Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi Univesitas Gadjah Mada Yogyakarta