Setelah sempat tertunda, PT Pertamina (Persero) akhirnya mempublikasikan laporan Keuangan 2018 audited pada 31 Mei 2019 lalu. Tertundanya publikasi laporan keuangan Pertamina itu masih dapat ditoleransi. Berdasarkan Kepmen BUMN KEP-100/MBU/2002 paling lambat penyampaian laporan keuangan BUMN hingga akhir bulan kelima pada tahun berikutnya masih mendapat score, sedangkan penyampaian setelah tahun kelima tidak mendapat score.
Selain itu, sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang besar dan strategis, Pertamina secara internal harus mengkonsolidasikan semua laporan keuangan anak-anak, bahkan cucu-cucu, perusahaan, yang jumlahnya cukup banyak. Laporan keuangan Pertamina juga harus disetujui tiga kementerian, yakni Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian BUMN, dan Kementerian Keuangan. Setelah disetujui ketiga kementerian tersebut, barulah laporan keuangan diaudit secara paralel oleh BPK dan Kantor Akuntansi Publik, yang juga membutuhkan waktu relatif lama, sehingga menyebabkan Laporan Keuangan 2018 baru dapat disampaikan pada akhir bulan kelima 2019.
Berdasarkan laporan keuangan 2018 audited, Pertamina mencatatakan perolehan laba bersih perusahaan pada 2018 sebesar USD 2,53 miliar atau setara Rp. 36,00 triliun, sedikit lebih rendah dibanding laba bersih 2017 yang mencapai US$ 2,54 miliar atau setara Rp. 36,14 triliun. Penurunan laba itu, terjadi di tengah kenaikan penjualan dan pendapatan lainnya pada 2018 tercatat sebesar US$ 57,93 miliar, lebih tinggi 26 persen dibanding penjualan tahun 2017 yang mencapai US$ 46,00 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa ada kenaikkan beban operasi usaha, pada beban penjualan dan pemasaran dari USD 1,59 miliar pada 2017 menjadi USD 1,64 miliar pada 2018. Kenaikan beban usaha itu dipengaruhi faktor eksternal yang uncontrollable, termasuk kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan rupiah sepanjang 2018, sehingga menaikkan harga pokok penjualan (HPP) sebesar 29 persen, dari sebesar USD 33,18 pada 2017 menjadi sebesar USD 42,79 miliar
Dalam menghadapi faktor eksternal yang uncontrollable, Pertamina telah melakukan penjualan agresif sehingga dapat menaikkan penjualan dan pendapatan lainnya. Pertamina juga melakukan prudent cash management dan program efesiensi, sehingga dapat menurunkan beban biaya umum dan administrasi dari USD 1,60 miliar pada 2017 menjadi USD 1,33 miliar pada 2018. Dengan penjualan agresif, prudent cash management dan program efisiensi, Pertamina dapat mencapai kinerja keuangan lebih tinggi dari yang ditargetkan.
Peningkatan Penjualan dan pendapataan lainnya tersebut merupakan kontribusi dari beberapa pos pendapatan. Pertama, penjualan dalam negeri berupa minyak mentah, gas bumi, energi panas bumi dan produk minyak sebesar 77,23 persen. Kedua, penjualan ekspor minyak mentah, gas bumi dan produk minyak sebesar 6,28 persen. Ketiga, imbalan jasa pemasaran sebesar 0,03 persen. Keempat, penggantian biaya subsidi dan kompensai dari pemerintah sebesar 9,72 persen. Kelima, pendapatan usaha dari aktivitas operasi lainnya sebesar 6,74 persen dari total penjualan dan pendapatan usaha lainnya.
Kontribusi terbesar dari total pendapatan penjualan dan pendapatan lainnya sebesar US$ 57,93 miliar berasal dari penjualan dalam negeri sebesar US$ 44,74 miliar atau setara Rp. 635,02 triliun, sedangkan pendapatan dari pemerintah dalam bentuk kompensasi hanya sebesar US$ 3,10 miliar atau setara Rp. 44,00 triliun. Pencatatan kompensasi, yang baru terjadi pada 2018, berdasarkan Perpres 43/2018 yang menyebutkan bahwa pendapatan kompensasi merupakan pendapatan yang diperoleh dari pemerintah pada saat Pertamina menjual BBM dengan harga jual eceran ditetapkan di bawah HPP, yang belum diperhitungkan sebagai subsidi dan dicatat secara akrual (accrual based).
Pencatatan akrual merupakan pengakuan pendapatan pada saat terjadinya transaksi, yang menambah pendapatan lainnya. Meskipun pemerintah belum membayarkan pendapatan kompensasi, karena akan disesuaikan dengan fiskal tahun berjalan, Pertamina bisa mencatatkannya ke dalam piutang pada Laporan Neraca dan sebagai pendapatan ke dalam Laporan Laba Rugi tahun berjalan. Pencatatan itu harus mendapat persetujuan dari Kementerian Keuangan, yang disahkan dalam audit BPK. Dengan demikian, pengakuan piutang dan pendapatan tersebut bukan merupkan rekayasa keuangan dalam laporan keuangan Pertamina, namun lebih sebagai kebijakan akuntansi berdasarkan Prinsip Akuntansi yang berlaku dengan mendapat persetujuan dari Kementerian Keuangan dan pengesahan dari auditor BPK.
Laporan keuangan menunjukkan terjadi penurunan dividen, dari sebesar Rp 8,57 triliun pada 2017 menjadi sebesar Rp 7,90 triliun. Kendati terjadi penurunan penyetoran dividen, total setoran Pertamina ke kas negara dari dividen, pajak, dan government entitlement mengalami peningkatan secara signifikan, bahkan setoran ke kas negara pada 2018 mencapai rekor tertinggi. Setoran Pertamina ke kas negara pada 2018 dalam bentuk pajak sebesar Rp112,3 triliun atau setara Rp 1.594,66 triliun, dan dividen sebesar Rp7,9 triliun atau setara Rp112,18 triliun. Setoran Pertamina ke kas negara dari sektor hulu Migas dalam bentuk government entitlement atas minyak dan gas bagian negara yang mencapai US$ 11,3 miliar atau sekitar Rp160,46 triliun yang berasal dari signature bonus dan komitmen Crude sebesar Rp142,1 triliun dan gas sebesar Rp18,36 triliun.
Berdasarkan capaian kinerja keuangan itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kinerja keuangan Pertamina 2018 meningkat cukup signifikan, bahkan melebihi target yang ditetapkan. Peningkatan kinerja itu semata-mata atas capaian peningkatan penjualan dalam negeri berupa minyak mentah, gas bumi, energi panas bumi dan produk minyak sebesar 77,23 persen. Bukan karena adanya pendapatan kompensasi sebesar 5,35 persen dari total penjualan dan pendapatan lainnya, bukan pula karena rekayasa laporan keuangan.
Bagi Pertamina, yang merupakan BUMN besar dan strategis, serta menjual global bond dan mendapat kredit dari lembaga keuangan internional, rekayasa laporan keuangan akan menurunkan kredibilitas di mata pembeli global bond dan kreditor international, serta Pemerientah dan Publik, sehingga sepertinya mustahil rekayasa laporan keuangan dilakukan sekadar untuk menjadikan kinerja keuangan tampak menjadi lebih “moncer”.
* Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada