Bisnis.com, Belum lama ini diskusi terkait dengan pelebaran defisit anggaran pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) kembali menghangat.
Dalam diskusi terbaru defisit anggaran diusulkan tidak dipatok 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tetapi dibuat lebih fleksibel. Defisit anggaran diusulkan boleh melebihi 3% terhadap PDB dalam 1 tahun tetapi secara rata-rata dalam 5 tahun defisit tetap harus berada di angka 3% terhadap PDB.
Sebagai informasi, aturan mengenai defisit anggaran diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Aturan tersebut mengadopsi salah satu poin perjanjian Maastricht (Maastricht Treaty) yang mengatur batasan defisit anggaran dan batasan utang.
Kalau defisit anggaran dibatasi maksimal 3% terhadap PDB maka jumlah utang selama 1 tahun berjalan tidak boleh melebihi 60% terhadap PDB. Perjanjian Maastricht juga kerap dijadikan rujukan internasional untuk mengukur defisit anggaran dan batas utang.
Meski demikian, beberapa hal dapat dikritik dari aturan batasan rasio defisit anggaran pada perjanjian Maastricht. Salah satunya adalah tidak adanya batasan atas dalam defisit yang boleh digunakan untuk menjalankan kebijakan fiskal counter cyclical ketika perekonomian sebuah negara membutuhkan stimulus untuk pertumbuhan yang lebih baik.
Di sisi lain, banyak yang menganggap bila rasio defisit anggaran suatu negara mendekati angka 3% maka negara tersebut berada dalam ambang kebangkrutan. Padahal tidak seperti itu.
Menurut Keen (2001), defisit anggaran dalam tataran teoritis dapat diartikan sebagai penciptaan uang di masa mendatang. Hal ini bisa terjadi jika defisit anggaran diperuntukkan untuk mendorong aktivitas ekonomi di masa mendatang. Sebagai ilustrasi, jika defisit anggaran dipergunakan untuk membangun infrastruktur saat ini maka di masa mendatang ketika infrastruktur telah selesai dibangun, pemerintah dapat menggali potensi pajak yang ditimbulkan dari aktifitas ekonomi infrastruktur yang sudah dibangun.
Beberapa negara juga melebarkan defisit anggarannya dengan tujuan memberikan stimulus untuk pertumbuhan ekonomi. Salah satunya adalah Vietnam. Pada periode 2010-2012 pertumbuhan ekonomi Vietnam mengalami penurunan dari 6,4% (2010) menjadi 5,2% (2012). Melihat kondisi tersebut, Pemerintah Vietnam kemudian memutuskan untuk melebarkan defisit anggaran mereka dari 2% terhadap PDB menjadi 3,4% terhadap PDB. Alhasil pertumbuhan ekonomi secara bertahap naik menjadi 5,4% pada 2013 dan 5,9% di akhir 2014.
Dengan argumen pendukung dan bukti empiris diatas, haruskah Indonesia mengadopsi kebijakan pelonggaran defisit APBN dalam jangka waktu dekat? Nanti dulu! Beberapa hal perlu dipertimbangkan sebelum Indonesia memilih opsi pelonggaran defisit anggaran.
Salah satu pertimbangan utama yaitu masih rentannya struktur pembiayan anggaran. Saat ini defisit anggaran banyak dibiayai dengan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN). Struktur kepemilikan asing di SUN sendiri masih mencapai 40%. Hal ini menjadikan pembiayaan sangat rentan terhadap sudden capital outflow (keluarnya aliran modal secara tiba-tiba).
Jika capital outflow terjadi maka harga SUN akan terkoreksi kebawah dan berdampak pada meningkatnya imbal hasil (yield). Peningkatan yield SUN umumnya harus direspon oleh swasta yang juga menerbitkan surat utang dengan meningkatkan imbali hasil yang lebih tinggi agar dapat bersaing dengan SUN. Alhasil, cost of fund untuk ekspansi swasta menjadi lebih mahal.
Belum lagi masalah crowding out effect yang muncul akibat semakin banyak penerbitan SUN efek dari pelebaran defisit anggaran. Dampak yang muncul adalah pihak swasta sulit mendapatkan pembiayaan, karena likuiditas yang banyak terserap ke SUN yang diterbitkan pemerintah.
Berangkat dari masalah di atas, dua hal yang perlu dipersiapkan jika pemerintah ingin mengadopsi pelonggaran defisit anggaran. Pertama, memperdalam likuditas di dalam negeri. Hal ini penting untuk menghindari crowding out effect yang dihasilkan dari semakin banyaknya SUN yang akan diterbitkan pemerintah. Salah satu caranya ialah memastikan transmisi kebijakan moneter dapat berjalan efektif untuk menurunkan suku bunga kredit di dalam negeri.
Saat ini suku bunga kredit di Indonesia yang mencapai 11% merupakan suku bunga kredit tertinggi di kawasan Asean jauh di atas Vietnam misalnya yang mencapai 7%. Padahal data empiris menunjukkan ada hubungan linear antara suku bunga yang rendah terhadap penyaluran kredit dan likuditas di dalam negeri.
Ambil contoh Vietnam, dengan suku bunga kredit 7%, penyaluran kredit terhadap PDB mencapai 130% dan likuditas dalam negeri yang tergambar dari M2 (seluruh uang yang beredar di masyarakat) terhadap PDB mencapai 155%. Jumlah peredaran likuditas di Indonesia sendiri hanya mencapai 39% dengan porsi kredit terhadap PDB mencapai 38%.
Selain itu peningkatan literasi masyarakat terhadap produk investasi dan keuangan juga penting untuk ditingkatkan. Dengan semakin banyaknya masyarakat yang ikut berinvestai terhadap beragam produk jasa keuangan di dalam negeri maka kerentanan produk investasi kita terhadap sudden capital outflow menjadi semakin berkurang seiring berkurangnya kepemilikan asing pada instrumen investasi di dalam negeri.
Poin kedua yang tak kalah penting ialah memperbaiki kualitas belanja anggaran. Selama lima tahun terakhir rata-rata realisasi belanja modal pada APBN hanya mencapai 11% jauh dibawah belanja rutih yang mencapai 12% ataupun belanja bunga utang yang mencapai 17%. Padahal belanja modal dapat memberikan efek berganda yang lebih besar bagi perekonomian. Pelebaran defisit anggaran yang tidak dibarengi dengan perbaikan kualitas belanja anggaran hanya akan menjadi beban belanja yang tidak produktif.
Pada akhirnya, wacana pelebaran defisit anggaran membutuhkan koordinasi dari berbagai pemangku kepentingan agar dapat berjalan baik dan bermanfaat bagi perekonomian. Tanpa koordinasi yang baik, alih-alih berdampak positif untuk bagi pertumbuhan ekonomi, opsi pelebaran defisit anggaran hanya akan menambah masalah baru pada perekonomian Indonesia.
*) Artikel dimuat koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis (23/5/2019)