Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PERSPEKTIF PRI AGUNG RAKHMANTO : Perizinan Hulu Migas Satu Pintu

Penyelesaian persoalan perizinan hulu migas tidaklah dilakukan dengan cara menghapuskan atau meniadakan perizinan yang terdapat di lintas kementerian atau sektor karena hal itu adalah kondisi yang sudah pasti ada dan tidak dapat dihindari, tetapi dengan cara mengembalikan prinsip perizinan satu pintu hulu migas yang sebelumnya telah ada.

Bisnis.com, JAKARTA – Perizinan dan birokrasi, yang dianggap berbelit dan memakan waktu, telah lama menjadi masalah mendasar yang dikeluhkan oleh para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) hulu minyak dan gas (migas).

Sering dikatakan bahwa saat ini, untuk dapat melakukan kegiatan usaha hulu migas maka KKKS harus melalui 373 proses perizinan.

Seluruh izin tersebut melalui empat fase kegiatan, yaitu: pertama, kegiatan survei dan eksplorasi dengan 117 izin, kedua, kegiatan pengembangan dan konstruksi, 137 izin, ketiga, kegiatan produksi, 109 izin, dan keempat, kegiatan pascaoperasi, 10 izin.

Seluruh zin itu tersebar di dalam sedikitnya 19 kementerian atau lembaga.

Akar permasalahan munculnya masalah perizinan hulu migas sejatinya terletak pada peraturan di sektor migas itu sendiri, yaitu di Undang-Undang Migas No.22 Tahun 2001 (UU Migas 22/2001).

Sejak berlakunya UU Migas 22/2001, posisi pelaku usaha hulu migas di Indonesia yang semula “hanya” sebagai kontraktor Pertamina di dalam pengusahaan hulu migas, “naik kelas” sebagai KKKS yang berkontrak langsung dengan badan pemerintah. Implikasinya, KKKS kemudian menjadi subjek langsung di dalam pengurusan segala perizinan yang diperlukan.

Kondisi ini berbeda dengan apa yang terjadi pada saat kegiatan usaha hulu migas didasarkan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina (UU Pertamina 8/1971), di mana masalah pengurusan perizinan menjadi tugas dan tanggung jawab Pertamina.

Mengapa hal itu menjadi tugas Pertamina? Pertama, karena secara filosofi, tugas pengusahaan hulu migas di Indonesia—untuk melakukan eksplorasi dan produksi—sejatinya memang merupakan tugas Pertamina selaku wakil dari negara dan bukan merupakan tugas kontraktor (Pasal 13 UU 8/1971).

Kontraktor, berdasarkan prinsip dasar dan filosofi kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract, PSC) yang digunakan, hanyalah membantu Pertamina. Oleh karena itu, menjadi logis jika segala hal yang berkenaan dengan pengurusan perizinan, menjadi tugas Pertamina dan bukan tugas langsung dari kontraktor.

Kedua, Pertamina diserahkan seluruh wilayah pertambangan migas beserta Kuasa Pertambangannya (Pasal 11 UU 8/1971). Dengan demikian, menjadi logis jika kemudian Pertamina yang melakukan segala hal yang berkaitan dengan perizinan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan penambangan migas di “wilayahnya sendiri”.

Jadi, memang ada alasan filosofis (dan logis) yang mendasari mengapa kontraktor hulu migas pada saat itu bukan merupakan subjek langsung di dalam pengurusan perizinan hulu migas. Itulah sebabnya mengapa seolah isu permasalahan perizinan hulu migas baru muncul pascapemberlakukan UU Migas 22/2001.

Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa permasalahan perizinan hulu migas, dengan segala proses birokrasinya yang tersebar di sejumlah kementerian atau lembaga, sejak dulu juga sebetulnya sudah ada.

Setiap kementerian atau lembaga yang menangani sektor tertentu, berdasarkan UU Kementerian Negara (yang terakhir UU No. 39/2008), memang memiliki kewenangan untuk menerapkan aturan dan kebijakan tertentu yang berada di dalam lingkup bidangnya (Pasal 8).

Yang membedakan adalah sebelum berlakunya UU Migas 22/2001, tugas mengurus perizinannya menjadi tanggungjawab Pertamina, sedangkan setelah UU Migas 22/2001 berlaku, tugas tersebut menjadi tanggung jawab kontraktor hulu migas sendiri.

REVISI UU MIGAS

Jika permasalahan perizinan hulu migas ini ingin kita “selesaikan”, agar tidak lagi menjadi isu yang selalu dikeluhkan kontraktor, pilihan solusi logisnya yang fundamental adalah dengan melalui revisi UU Migas.

Melalui revisi UU Migas ini, diharapkan nantinya UU Migas yang baru dapat mengembalikan kondisi di mana tugas untuk melakukan pengurusan perizinan hulu migas menjadi tanggung jawab dari siapapun lembaga/institusi yang nantinya ditunjuk untuk mewakili negara dalam kontrak pengusahaan migas.

Kontraktor hulu migas, sesuai namanya, hanyalah membantu, dan tidak melakukan pengurusan perizinan tersebut secara langsung. Agar secara filosofi maupun logis hal itu dapat dilakukan, maka sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi, lembaga yang mewakili negara dalam kontrak pengusahaan hulu migas tersebut idealnya berbentuk perusahaan (dengan tugas melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan produksi migas) yang dilengkapi dengan kewenangan (Kuasa Pertambangan) atas wilayah pertambangan migas yang telah diberikan penguasaanya kepadanya.

Oleh karena itu, dalam konteks proses revisi UU Migas yang saat ini masih bergulir, menjadi sangat penting untuk merumuskan secara lebih spesifik kewenangan dan sekaligus tugas dan tanggung jawab dari Badan Usaha Khusus (BUK) Migas, sebagaimana yang saat ini ada baik di dalam draf RUU Migas usulan DPR maupun di dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disusun pemerintah.

Menjadi sangat relevan dan logis untuk kemudian: (1) menjadikan BUK Migas sebagai wakil negara di dalam kontrak pengusahaan migas, (2) memberikan Kuasa Pertambangan kepada BUK Migas atas wilayah pertambangan migas tertentu yang diberikan penguasaannya kepadanya, dan (3) menugaskan kepada BUK Migas untuk melakukan dan menyelesaikan pengurusan terhadap seluruh perizinan yang diperlukan.

Dengan kata lain, penyelesaian persoalan perizinan hulu migas tidaklah dilakukan dengan cara menghapuskan atau meniadakan perizinan yang terdapat di lintas kementerian atau sektor karena hal itu adalah kondisi yang sudah pasti ada dan tidak dapat dihindari, tetapi dengan cara mengembalikan prinsip perizinan satu pintu hulu migas yang sebelumnya telah ada.

Hal tersebut dilakukan melalui institusi yang nantinya berdasarkan UU Migas yang baru ditunjuk untuk mewakili negara di dalam tugas pengusahaan kegiatan usaha hulu migas yang dilakukan melalui kontrak kerja sama. Poin prinsip inilah yang semestinya ada di dalam UU Migas yang baru nanti.

Dengan demikian, secara prinsip kontraktor hulu migas nantinya hanya perlu melakukan pengurusan perizinan di satu institusi dan tidak berlapis-lapis sebagaimana yang terjadi saat ini.

Harapannya, dengan perizinan yang lebih sederhana, ada kemudahan dalam berinvestasi, kegiatan eksplorasi dan produksi hulu migas nasional dapat kembali bergairah, dan pada gilirannya cadangan dan produksi migas nasional dapat kembali meningkat.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin (22/4/2019)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper