Bisnis.com, JAKARTA - Debat terakhir (debat kelima) Calon Presiden dan Wakil Presiden RI menghadirkan pembahasan bertemkan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial, Keuangan dan Investasi, serta Perdagangan dan Industri. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyodorkan 10 PR permasalahan ekonomi nasional.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai persoalan ekonomi dan kesejahteraan sosial dinilai masih menjadi permasalahan utama di Indonesia. Di sisi lain, sektor keuangan negara, investasi, perdagangan dan industri dinilai menjadi solusi dalam mengentaskan persoalan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang dihadapi.
Melihat urgensi tema debat kelima dalam Pemilihan Presiden, Ekonom Senior INDEF Nawir Messi menyampaikan Sepuluh permasalahan krusial bangsa di bidang ekonomi yang diharapkan dapat disentuh dan diberikan solusi dalam debat Pilpres kelima.
Isu pertama, dibutuhkan urgensi memperbaiki kuantitas dan kualitas pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 20 tahun (2000-2018) sebesar 5,27% yoy.
"Jika pertumbuhan lima persenan yang sudah terjadi dalam 6 tahun ini tidak segera diakselerasi, maka akan sulit bagi Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah [middle income trap]," kata Nawir dalam siaran pers, Jumat (12/4/2019).
Sementara itu, dia menyoroti wajah ketimpangan pembangunan tercermin dari bergemingnya pulau Jawa terhadap pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto). Lima tahun lalu (2014) porsi Jawa sudah mencapai 57,4%.
Saat ini (2018) porsi Pulau Jawa justru naik menjadi 58,48 persen dalam pembentukan PDB nasional.
"Ini menggambarkan bahwa pembangunan masih Jawa sentris," jelasnya.
Kedua, tren inflasi rendah yang terjadi saat ini (yaitu 2,48 persen (yoy) Maret 2019 tidak mampu menstimulasi kegiatan ekonomi terutama konsumsi. Hal ini terjadi karena seiring melandainya inflasi, pertumbuhan konsumsi juga mengalami stagnansi.
Ketiga, perbaikan peringkat kemudahan berbisnis tidak dilirik PMA (Penanaman Modal Asing). Dia menilai Membaiknya peringkat EoDB (Ease of Doing Business) belum mampu mendorong peningkatan PMA. Realisasi PMA di Indonesia cenderung menunjukkan penurunan.
"2018 realisasi PMA turun dibanding 2017 setidaknya karena dinamika ekonomi global, menjelang tahun politik memunculkan kekhawatiran pada kepastian regulasi pada sektor dengan orientasi jangka panjang [migas, manufaktur, perkebunan], dan transisi perizinan menggunakan OSS," ungkapnya.
Keempat, Nawir menegaskan permasalahan mpor menjadi suatu yang pasti sehingga menghentikannya adalah sesuatu yang utopis. Impor terjadi karena semakin rendahnya output di sektor pertanian dan peternakan sementara pertumbuhan penduduk, terutama kelas menengah, terus meningkat. Sementara itu, sektor industri yang masih mengandalkan bahan baku impor.
Tingkat dependensi industri terhadap impor masih tinggi. Impor bahan baku masih menyumbang 70% dari keseluruhan impor. Di sisi lain, Kontribusi impor konsumsi sudah mencapai 9% dalam tiga tahun terakhir, setelah selama 16 tahun berada di posisi 7-8%.
"Impor konsumsi memperlihatkan bahwa industri dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri," katanya.
Kelima, deindustrialisasi dan transformasi struktural ekonomi merupakan fenomena alamiah dan terjadi secara global, namun deindustrialisasi di Indonesia terjadi cepat. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia mengalami penurunan porsi manufaktur terhadap PDB sebesar 7%. Padahal negara sebaya (peers) di ASEAN (Thailand dan Malaysia) tidak lebih dari 4%.
Keenam, Logistik sekarat, perdagangan tidak terangkat. Frekuensi perdagangan di Indonesia masih rendah dibandingkan negara sebaya (peers) ASEAN. Indonesia hanya memiliki rasio nilai perdagangan terhadap PDB sebesar 39,54%, sementara negara ASEAN seperti Malaysia memiliki 135,9% dan Thailand sebesar 121,66%.
Nilai rendah ini salah satunya disebabkan minimnya peran logistik dalam perdagangan. Logistic Performance Index (LPI) 2018 menunjukan nilai Indonesia sebesar 3,15. Meskipun meningkat dari tahun 2016, namun nilai LPI ini lebih rendah dibandingkan Thailand, Malaysia dan Vietnam.
"Nilai Trading Across Border dalam EODB di 2018 yang dikeluarkan oleh World Bank (2019) juga menunjukan nilai terendah se-ASEAN-5 sebesar 67,27," ungkapnya.
Ketujuh, revolusi Industri 4.0 tidak lebih dari sekadar euforia dan gimmick politik. INDEF mencatat terdapat dua sebab mengapa industri 4.0 hanya dipandang sebagai gimmick politik dibandingkan perencanaan ekonomi yang matang. Tidak adanya perencanaan yang mendasar mengenai apa yang perlu dikembangkan di sektor prioritas dan tidak ada perencanaan infrastruktur dasar industri 4.0, yaitu Internet of Things (IoT).
Selanjutnya, tidak ada perencanaan untuk melakukan mitigasi tenaga kerja yang terkena dampak dari pengimplementasian otomatisasi di sektor ini.
Kedelapan, rendahnya Kinerja Perpajakan dan peningkatan risiko utang. Tax Ratio Indonesia mengalami tren penurunan selama periode 2012-2017, lalu pada 2018 mengalami kenaikan menjadi 11,5%. Namun, pencapaian tax ratio tersebut masih jauh dari target tax ratio dalam RPJMN 2015-2019 sebesar 15,2% pada 2018.
Penerimaan pajak yang tidak optimal juga tercermin dari shortfall pajak yang masih terjadi. Realisasi penerimaan pajak 2017 sebesar 91,23%, 2018 sebesar 94,02%.
Permasalahan lain yaitu meningkatnya risiko utang. Peningkatan rasio utang terhadap PDB berbanding terbalik dengan tax ratio, mencerminkan kemampubayaran utang pemerintah semakin menurun.
"Implikasinya, beban pembayaran bunga utang terhadap belanja pemerintah pusat semakin tinggi, dari 11% [2014] menjadi 17,13% [2019]," ujarnya.
Kesembilan, Problematika Dana Desa. Alokasi Dana Desa terus meningkat dari Rp20,8 triliun (2015) menjadi Rp70 triliun (2019). Begitupun proporsi Dana Desa terhadap Transfer ke Daerah yang terus naik dari 3,45% (2015) menjadi 8,47% (2019).
Namun, kenaikan dana desa tidak berbanding lurus dengan peningkatan indikator sosial di perdesaan. Buktinya, terjadi tren kenaikan ketimpangan di desa dari 0,316 (Sep'16) menjadi 0,324 (Mar'18), meski mulai turun per Sep'18 menjadi 0,319.
"Lebih spesifik lagi, masih ada 10 Provinsi dengan tingkat ketimpangan perdesaan yang lebih tinggi dibandingkan level nasional Yogyakarta, Jatim, NTB, NTT, Sulut, Sulsel, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua, Papua Barat," tutur Nawir.
Kesepuluh, inkonsistensi kebijakan realokasi belanja konsumtif (subsidi energi) menjadi belanja produktif (infrastruktur). Pada Tahun 2015, subsidi energi dipangkas hingga 65,16% atau dari Rp342 triliun pada 2014 menjadi Rp119 triliun pada 2015).
Penurunan subsidi energi terus berlanjut pada tahun 2016 (-10,33%) dan tahun 2017 (-8,61%). Namun, pada 2018 subsidi energi kembali melonjak hingga 57%.
Pembengkakan subsidi energi terjadi karena faktor kenaikan harga minyak mentah dunia dan depresiasi Rupiah.
"Agar subsidi energi tidak terus melonjak, pemerintah perlu membenahi targeting penerima subsidi agar lebihtepat sasaran, seperti Gas 3kg, pelanggan listrik golongan 900VA yang mampu," tutupnya.