Bisnis.com, JAKARTA—Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai pemerintah perlu melibatkan sektor swasta dalam upaya meningkatkan produksi kakao.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mercyta Jorsvinna Glorya mengatakan lembaga swadaya dan pihak swasta adalah pihak-pihak yang betul-betul terjun langsung dan memantau kondisi di lapangan. Menurutnya, kedua pihak tersebut sudah berkecimpung secara langsung pada komoditas kakao, sehingga tahu secara terperinci kendala petani setiap harinya, dan perubahan, baik itu harga global, atau standar kualitas global.
“Metode-metode seperti menjamin akses pasar, fermentasi dan adanya jaminan untuk meminjam modal usaha dari bank, adalah beberapa metode yang sangat bisa ditiru pemerintah untuk dijadikan kebijakan kakao nasional,” katanya dalam siaran resmi yang diterima Bisnis Kamis (4/4/2019) malam.
Karena itu, dia berpendapat pemerintah harus bisa memberdayakan organisasi lebih sering sebagai forum untuk pemerintah dan sektor non-pemerintah bertukar ilmu dalam membahas permasalahan-permasalahan kakao nasional. Mercyta menambahkan pemerintah perlu tahu detil tentang fakta apa yang terjadi di lapangan, sehingga solusi yang dicanangkan akan tepat sasaran.
Dia menilai salah satu alasan rata-rata produktivitas petani kakao nasional sangat rendah bukan karena mereka tidak mengetahui teknik-teknik penanaman kakao yang baik. Akan tetapi, petani merasa tidak punya dana yang cukup untuk memelihara tanaman kakao secara maksimal, ditambah pendapatan mereka dari menjual biji kakao kerap tidak menutup biaya produksi yang tinggi.
Hal inilah yang menyebabkan petani kurang termotivasi dan mengurus tanaman kakao mereka dengan metode seadanya.
Kendati demikian, lanjutnya, pemerintah pun sudah melakukan banyak upaya untuk meningkatkan produksi kakao nasional. Misalnya membagikan 18,3 juta benih kakao dalam bentuk batang utama, memperluas lahan kakao di empat provinsi dan enam kabupaten dengan anggaran dana Rp 15,03 miliar. Pemerintah juga melakukan peremajaan kakao dengan anggaran Rp 84,53 miliar.
“Selama ini, Indonesia terkenal sebagai salah satu produsen terbesar kakao dunia, menyusul negara-negara Afrika yaitu Pantai Gading dan Ghana. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih lanjut, status produsen kakao ketiga terbesar dunia sedang terancam, dan ini patut dipertanyakan,"terangnya.
Berdasarkan Data Food and Agriculture Association (FAO) pada 2013 menunjukan bahwa, Indonesia memproduksi, secara kesuluruhan 729.000 ton/tahun. Sementara hasil produksi Pantai Gading sebagai produsen terbesar kakao dunia mencapai angka produksi sebesar 1,4 juta ton/tahun dan diikuti oleh Ghana dengan angka produksi 835.466 ton/tahun. Dibandingkan dengan Pantai Gading, Indonesia hanya mampu memproduksi setengah dari total produksi Negara penghasil kakao terbesar dunia tersebut.
Mercyta melanjutkan, data FAO 2017 menunjukkan, Pantai Gading mencapai total produksi sebesar 2 juta ton/tahun, disusul dengan Ghana di angka 883.652 ton/tahun dan Indonesia di angka produksi 659.776 ton/tahun. Data dari FAO ini-pun masih ditentang keabsahannya, karena menurut data Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO), di tahun 2017 total produksi kakao Indonesia hanya mencapai 315.000 ton/tahun. Jumlah ini menurun dari total produksi 2013, yang dilansir Askindo hanya mencapai angka 450.000 ton/tahun.