Bisnis.com, JAKARTA--Pemerintah perlu memikirkan industri alternatif lain apabila permintaan batu bara mengalami perlambatan dan mulai kalah bersaing dengan energi terbarukan untuk pembangkit listrik.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan alternatif tersebut perlu segera dikembangkan karena selama ini batu bara menjadi salah satu tumpuan bagi pemerintah dalam penerimaan negara. Bahkan, dampaknya jauh lebih vital bagi beberapa daerah penghasil komoditas tersebut.
"Walaupun sektor batu bara hanya berkontribusi rata-rata 4%-6% PDB, tetapi di empat provinsi penghasil batu bara terbesar, yakni Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan, kontribusinya mencapai 19%-35% dari PDRB," ujarnya, Senin (1/4/2019).
Menurutnya, keempat provinsi tersebut berhadapan dengan risiko yang besar apabila terus bergantung pada permintaan impor dari sejumlah negara. Pasalnya, kebijakan jangka menengah dan panjang di negara-negara seperti China, India, Jepang, dan Korea Selatan mulai berubah dalam satu dekade mendatang.
"Kami merekomendasikan agar pemerintah mulai memasukkan risiko ini dalam perencanaan pembangunan nasional dan mulai menyiapkan cetak biru rencana pembangunan ekonomi lokal untuk mengantisipasi industri batu bara yang berpotensi mengalami sunset dalam satu dekade mendatang," katanya.
Adapun Indonesia sebagai eksportir batu bara thermal terbesar dunia selama ini cukup mampu menghadapi tekanan dari pasar internasional yang masih membutuhkan batu bara. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir produksi Indonesia selalu mengalami kenaikan yang sebagian besar ditujukan untuk pasar ekspor.
Baca Juga
Sepanjang tahun lalu, produksi batu bara Indonesia mencapai rekor tertinggi sebanyak 557 juta ton. Pasokan untuk domestik hanya 121 juta ton saja, sementara sisanya diekspor.