Bisnis.com, JAKARTA -- Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mendorong upaya kewajiban fortifikasi produk pangan dan makanan guna mengatasi masalah gizi buruk di Indonesia.
Kepala Bappenas Bambang P.S. Brodjonegoro mengatakan pihaknya berharap Kementerian Perindustrian dapat melakukan menerapkan kewajiban ini terhadap industri makanan dan minuman di Tanah Air.
"Ini terutama dari Kementerian Perindustrian karena yang akan melakukan ini adalah industrinya," ungkap Bambang, Selasa (19/2/2019).
Kendati demikian, Bambang menilai fortifikasi pangan juga harus menyasar hingga ke sektor pertanian dan kelautan serta perikanan. Pasalnya, biofortifikasi di luar industri makanan dan minuman juga perlu dikembangankan.
Fortifikasi pangan adalah proses pengayaan atau penambahan mikronutrien seperti vitamin dan unsur renik esensial lainnya kepada makanan.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek menegaskan fortiffikasi pangan sangat penting. Dia mencontohkan kasus anemia pada ibu hamil. Dari data Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) 2018, prevalensi anemia pada ibu hamil meningkat menjadi 48,9% pada 2018 menjadi 37,1% pada 2013.
Kementerian Kesehatan memberikan 90 tablet penambah darah kepada ibu hamil di Indonesia. Sayangnya, hanya sekitar 15% yang mengkonsumsi tablet tersebut. Begitupun anak remaja putri, Kementerian Kesehatan mencatat hanya 1,4% yang diminum.
Alasannya beragam a.l. rasa dan bau tablet yang tidak enak. Dari kasus ini, Nila berharap ada cara lain untuk mendorong kebutuhan zat besi atau vitamin yang dibutuhkan ibu hamil dan remaja, yaitu melalui fortifikasi.
Dengan fortifikasi pangan kelompok ini tidak menyadari bahwa makanan yang dimakannya memiliki kandungan mikronutrien yang diperlukan.
Nila menyadari fortifikasi memang memerlukan biaya, tetapi dia berharap produsen makanan dan minuman bisa berupaya mendorong hal ini
"Mungkin industri jangan mikir keuntungan saja dong!" tegas Nila.