Bisnis.com, JAKARTA -- Telah empat pekan petisi digital berjudul “VFS Tasheel Wajib Dibatalkan Karena Menyusahkan Jamaah” tayang dalam laman www.change.org.
Petisi itu dibuat oleh akun “Dakwah Sosmed” dan ditujukan kepada Kementerian Agama (Kemenag), Imigrasi Indonesia, dan Kedutaan Besar Arab Saudi. Per Senin (21/1/2019) pukul 13.50 WIB, petisi tersebut sudah ditandatangani oleh 12.648 orang.
Musim haji 2019 akan jatuh pada Agustus. Merujuk kuota haji bagi Indonesia pada 2019 sebesar 220.000 jemaah, ditambah jemaah umrah, dalam setahun diperkirakan ada 1 juta orang yang menjalankan ibadah haji dan umrah.
Jemaah calon haji Indonesia./Antara-M. Risyal Hidayat
Adapun VFS Tasheel adalah perusahaan yang digandeng Pemerintah Arab Saudi untuk mengelola layanan visa bagi warga negara lain yang akan menjejak ke kerajaan di Timur Tengah itu. Namun, kini perusahaan tersebut ditunjuk sebagai pihak berwenang untuk melakukan rekam biometrik bagi seluruh jemaah haji dan umrah.
Rekam biometrik mencakup perekaman sidik jari dan wajah. Semua pengaju visa haji dan umrah harus menyertakan rekam biometriknya.
Namun, asosiasi biro umrah dan haji menilai penerapan kewajiban rekam biometrik melalui VFS Tasheel merintangi para jemaah. Oleh karena itu, mereka menentangnya dengan beberapa alasan.
Pertama, VFS Tasheel dinilai tidak mempunyai kapasitas yang mumpuni untuk melayani rekam biometrik dari jutaan jemaah Indonesia. Pasalnya, perusahaan tersebut hanya mempunyai 34 kantor perwakilan di seluruh Indonesia.
Dengan hanya mempunyai 34 kantor, maka perhitungannya adalah tiap kantor perwakilan rata-rata harus melayani 30.000 orang dalam setahun atau sekitar 90 orang per hari.
Kedua, faktor karakteristik jemaah haji di Indonesia. Selama ini, tak sedikit jemaah yang sudah berusia lanjut. Dengan adanya proses tambahan rekam biometrik, mereka harus mengantre lagi.
Dokumen paspor dan visa jemaah calon haji di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (27/7/2018)./ANTARA-Aloysius Jarot Nugroho
Belum lagi jika memperhitungkan para jemaah datang dari berbagai pelosok daerah. Sementara itu, kantor perwakilan VFS Tasheel hanya terdapat di kota-kota besar sehingga akan menambah biaya bagi para calon jemaah haji dan umrah.
“Tidak jarang kami mendapatkan informasi dalam satu hari antrean, banyak calon jamaah yang jatuh sakit, pingsan, karena tidak kuat mengantre,” ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) Firman Muhammad Nur kepada Bisnis, Jumat (11/1/2019).
Kehadiran VFS Tasheel merupakan program strategis dari Pemerintah Arab Saudi. Perusahaan itu sudah bermitra dengan Pemerintah Arab Saudi sejak 2013 dan kini telah melayani pengelolaan visa Arab Saudi bagi 30 negara.
VFS Tasheel awalnya adalah perusahaan patungan yang didirikan oleh Tasheel Group dan VFS Global. VFS Global adalah bagian dari Grup Kuoni Swiss, yang pemilik utamanya adalah EQT, perusahaan investasi global terkemuka yang berkantor pusat di Stockholm, Swedia.
Sementara itu, Tasheel adalah bagian dari Tasheel Holding Group yang berkantor pusat di Jeddah, Arab Saudi. Perusahaan ini menawarkan layanan di bidang perjalanan wisata dan bisnis.
Tetapi, sekarang VFS Tasheel telah sepenuhnya dikendalikan oleh VFS Global, yang juga dikenal sebagai pionir industri layanan visa digital dan biometrik. VFS diklaim sudah melayani sebanyak 58 pemerintah dan beroperasi di 137 negara hingga tahun lalu.
Lobi dan Protes
Sejak muncul polemik rekam biometrik, empat petinggi asosiasi penyelenggara haji dan umrah telah menempuh jalan lobi. Namun, lobi yang memakan waktu sekitar dua bulan pada akhir tahun lalu itu masih nihil hasil.
“Mereka mendatangi duta besar, otoritas haji, kamar dagang di Arab Saudi,” tutur Firman yang juga jadi pengurus Permusyawaratan antar Syarikat Travel Umrah dan Haji Indonesia (Patuhi).
Ibadah haji./Reuters-Ahmad Masood
Di Indonesia, operasi VFS Tasheel secara resmi dimulai pada September tahun lalu. Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia ikut mengesahkan operasional bisnis VFS Tasheel di pasar haji terbesar di dunia ini.
Selepas peresmian tersebut, asosiasi langsung gencar melakukan lobi. Namun, hingga pergantian tahun, belum terdapat perundingan yang diinginkan.
Protes terhadap VFS Tasheel ternyata bukan hanya terjadi di Tanah Air. Sejak peluncuran operasi, VFS Tasheel mendapat tentangan di beberapa negara, salah satunya Nigeria.
Surat kabar lokal Blueprint menyiarkan terjadinya protes besar di Abuja, ibu kota Nigeria, terkait persyaratan rekam biometrik bagi jemaah haji dan umrah asal negara Afrika tersebut. Protes digawangi The Association for Hajj and Umrah Operators of Nigeria (AHUON) pada 15 Februari 2018.
Asosiasi menganggap rekam biometrik yang dibesut VFS Tasheel memberatkan jemaah haji dan umrah. Bahkan, sebagian besar jemaah telantar saat mengurus rekam biometrik tersebut.
Dalam protesnya, AHUON menyebutkan laporan adanya pemerasan saat mengurus rekam biometrik tersebut. Tetapi, protes itu disikapi dingin pihak VFS Tasheel.
“Tantangannya sekarang adalah penundaan. Anda dapat melihat orang-orang yang telah berada di sini selama berhari-hari, tapi belum dapat dilayani. Terkadang, diperlukan waktu beberapa jam untuk melakukan perekaman biometrik terhadap satu calon jemaah dan jika jemaah tersebut akan berangkat umrah, penundaan yang terjadi bisa membuatnya tertinggal pesawat. Dengan apa yang terjadi, ribuan calon jemaah Nigeria tidak akan bisa mengikuti musim haji ini," ungkap pengurus AHUON.
Di sisi lain, sejawat AMPHURI di Malaysia pun disebut ikut menanggapi kehadiran VFS Tasheel.
“Mereka menggelar protes, tetapi pemerintah mendukung. Sehingga, untuk Malaysia, rekam biometrik VFS ditiadakan, tetap sistem lama,” ujar Firman.
Terkait Malaysia, negara itu telah menjalin kerja sama strategis dengan VFS. Serupa yang dilakukan Arab Saudi, Pemerintah Malaysia menggandeng VFS untuk membuka layanan visa biometrik bagi yang ingin berkunjung ke Negeri Jiran.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin./Antara-Sigid Kurniawan
Sebagaimana ditampilkan dalam siaran pers VFS Global, kantor terpadu pelayanan visa bagi Malaysia terdapat di Riyadh dan Jeddah. Boleh jadi, melalui kerja sama itu, Pemerintah Malaysia mendapatkan manfaat resiprokal.
Terkait dukungan Pemerintah Indonesia, asosiasi mengharapkan lobi tingkat tinggi untuk melindungi kepentingan jemaah umrah dan haji. Terakhir, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meminta Pemerintah Arab Saudi untuk menunda rencana penerapan kebijakan rekam biometrik.
"Sebelum kebijakan biometrik ini diterapkan di Indonesia, kami sudah bersurat kepada Pemerintah Arab Saudi. Bahkan, pada pertemuan terakhir pada Desember 2018, saya kembali menyampaikan kepada Menteri Haji Arab Saudi agar kebijakan tersebut dipertimbangkan kembali karena sangat menyulitkan jemaah,” ungkapnya.
Hingga kini, upaya itu belum jelas ujungnya. Asosiasi pun ikut bimbang memikirkan potensi gagal berangkat para jemaah.