Bisnis.com, JAKARTA- Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan jumlah kapal penangkap ikan yang menggunakan elektronik logbook tahun mencapai hingga 11.000 kapal dari saat ini baru sekitar 2.500 kapal.
Seperti diketahui, pemanfaatan elektroik logbook dilakukan guna meningkatkan keakuratan pelaporan tangkapan kapal dan kegiatan lainnya guna menghindari tindakan illegal, unreported, unregulated fishing (IUU Fishing) atau penangkapan ikan secara illegal, tak terlapor, dan tak berdasarkan aturan.
“Untuk pendataan, kita sudah aktifkan sejak akhir Oktober [2018] elektronik logbook, di mana seluruh kapal kapal kita akan kita wajibkan untuk mengaktifkan elektronik logbook-nya,” kata Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Zulficar Mochtar, Rabu (16/1/2019).
Dengan pemanfaatan log book ini, pendataan hasil perikanan Indonesia diharapkan bisa lebih baik. Salah satu tujuan yang hendak dicapai dengan perbaikan pendataan ini adalah sebagai bahan negosiasi kuota tangkapan tuna Indonesia ke depannya.
Kendati hasil tangkapan tuna Indonesia di daerah tangkapan regional yang diatur oleh (Western and Central Pacific Fisheries Commission) saat ini belum mencapai kuota sebesar 5.889 ton per tahun, kuota tangkapan di wilayah lainnya yang diatur oleh Commissin for the Conservation of Southern Bluefin Tunaatau tuna sirip biru yang saat sebesar 1.023 ton per tahun dinilai masih terlalu kecil mengingat potensi yang ada.
“Kalau ini membaik tentu saja pendataan kita akan jauh lebih bagus lagi meskipun tiap tahun kita melakukan pertemuan di RFMO untuk membahas status proses dan kuota segala macam,” katanya.
RFMO merupakan Organisasi Pengelolaan Perikanan regional yang memiliki empat komisi di mana Indonesia menjadi anggota di tiga komisi yang ada yakni WCPFC, CCSBT, dan IOTC.
Selain itu, pengadaan tak kurang dari 150 observer kapal juga menjadi target KKP untuk memerangi IUU fishing sekaligus memenuhi ketentuan yang dibuat oleh RFMO.
Menurut Zulficar, saat ini RFMO mewajibkan sedikitnya 5% dari total kapal yang melakukan penangkapan di wilayah kelolaan regional untuk memiliki observer. Keberadaan para observer ini juga akan diperkuat melalui kerja sama dengan 10 perguruan tinggi.
“Jadi, mahasiswa tingkat akhir yang peneltiannya perikanan, kelautan itu kita siap kita ajak juga berkolaborasi membantu proses observasi di atas kapal. Hasilnya kita harapkan pendaataan kita akan jauh lebih bagus pendataan kita lebih efektif,” jelasnya.
Seperti diketahui, Indonesia menjadi salah satu negara penghasil tuna dunia di mana berdasarkan catatan Organisasi Pangan Dunia (FAO) 16% total tuna dunia berasal dari Indonesia. Di dalam negeri sendiri, tuna beserta cakalang dan tongkol (TCT) berkontribusi sebanyak 20% terhadap seluruh hasil perikanan Indonesia. Dari angka tersebut, 70% TCT Indonesia dihasilkan oleh nelayan kecil.