Bisnis.com, JAKARTA -- Menjelang Pilpres 2019, isu-isu ekonomi kembali menjadi perhatian sekaligus amunisi dalam meraih suara. Salah satu poin yang sering diangkat adalah tingkat kemiskinan di Indonesia.
Dalam berbagai kesempatan, pasangan nomor urut 1 menyatakan tingkat kemiskinan mengalami penurunan, sedangkan pasangan nomor urut 2 mengklaim angkanya terus meningkat. Bahkan, calon presiden (capres) Prabowo Subianto sempat mengklaim angka kemiskinan di Indonesia naik hingga 50% dalam 5 tahun terakhir.
Bagaimana keadaan sebenarnya?
Profil kemiskinan di Indonesia diukur melalui metode penentuan Garis Kemiskinan (GK) makanan dan bukan makanan. Penduduk miskin yaitu kelompok masyarakat yang mempunyai pengeluaran rata-rata per kapita di bawah GK.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Selasa (15/1/2019), jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 9,66% dari jumlah penduduk per September 2018. Jumlah ini setara dengan 25,67 juta orang.
Angka September 2018 mencatatkan penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 0,46 basis poin (bps) dari periode September 2017 yang berada di level 10,12%. Jika dibandingkan dengan posisi Maret 2018 yang sebesar 9,82%, maka capaian September 2018 lebih rendah 0,16 bps.
Dari data yang sama, kemiskinan banyak terjadi di desa-desa dan ketimpangan antara desa serta kota masih berlanjut walaupun terjadi perbaikan.
Faktor yang paling signifikan mempengaruhi tingkat kemiskinan yaitu upah riil buruh tani dan nilai tukar petani. Kedua faktor itu mengalami kenaikan sepanjang periode Maret-September 2018.
Sementara itu, selama periode yang sama, tingkat inflasi yang biasanya menggerus penghasilan riil masyarakat terkendali dengan baik. Tingkat inflasi periode Maret-September 2018 hanya sebesar 0,94%.
Bahkan, untuk beberapa komoditas pokok seperti beras, daging sapi, minyak goreng, dan gula pasir mengalami penurunan.
Di sisi lain, penghasilan 40% penduduk lapis terbawah terdongkrak. Alhasil, GK selama periode Maret-September 2018 ikut terkerek sebesar 2,36%, dari Rp401.200, menjadi Rp410.670 pada September 2018.
Warga beraktivitas di rumah semi permanen./ANTARA-Aprillio Akbar
GK makanan masih berkontribusi paling besar yakni 73,54%, sedangkan non makanan hanya sebesar 26,46%. Secara keseluruhan, GK keduanya mengalami penaikan, yang berarti kesejahteraan masyarakat sedikitnya merambat naik.
Komoditas makanan yang terbesar menggerus penghasilan masyarakat yaitu beras, rokok, telur, dan daging ayam. Bagi masyarakat kota, beras menyumbang GK sebesar 19,54%, sedangkan di desa mencapai 25,51%.
Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan provinsi dengan GK per Rumah Tangga miskin paling rendah, yakni Rp1,48 juta per bulan. Sebaliknya, DKI Jakarta menjadi yang tertinggi dengan nilai mencapai Rp3,33 juta per bulan.
Namun, dari persentase penduduk miskin, Pulau Maluku-Papua masih menjadi yang tertinggi. Seperlima, atau tepatnya 21,2%, dari jumlah penduduknya berada di bawah GK.
Dalam hal ketimpangan sosial yang diukur melalui indeks rasio Gini, terdapat beberapa daerah dengan kesenjangan pengeluaran yang tinggi.
Hingga September 2018, provinsi dengan ketimpangan tertinggi yaitu DI Yogyakarta, Gorontalo, Jawa Barat, dan Papua. Provinsi-provinsi tersebut memiliki indeks rasio Gini di atas nasional yang sebesar 0,384.
Sebaliknya, provinsi dengan pengeluaran yang hampir merata dari kelas bawah, menengah, dan atas yaitu Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Utara, dan Sumatra Barat.
Secara nasional, ketimpangan ini kian terkikis. Pada Maret 2018, rasio Gini mencapai 0,389, sedangkan pada September tahun lalu sebesar 0,384.
Presiden Joko Widodo meninjau penyaluran bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH)./Bisnis-Abdullah Azzam
Perang Jargon
Jika menilik visi misi kedua paslon, masing-masing mengedepankan Indonesia yang mandiri secara ekonomi.
Visi paslon Joko Widodo-Ma'ruf Amin yaitu “Terwujudnya Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian, berlandaskan gotong-royong”.
Adapun misi pasangan ini yaitu peningkatan kualitas manusia Indonesia serta struktur ekonomi yang produktif, mandiri, dan berdaya saing. Selain itu, pembangunan yang merata dan berkeadilan serta mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Di sisi lain, paslon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menetapkan visi “Terwujudnya Bangsa dan Negara Republik Indonesia yang adil, makmur bermartabat, relijius, berdaulat di bidang politik, berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian nasional yang kuat di bidang budaya serta menjamin kehidupan yang rukun antar warga negara tanpa memandang suku, agama, latar belakang sosial dari rasnya berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Pasangan nomor urut 2 ini mengusung misi yang isinya yaitu membangun perekonomian nasional yang adil, makmur, berkualitas, dan berwawasan lingkungan dengan mengutamakan kepentingan rakyat Indonesia melalui jalan politik ekonomi sesuai Pasal 33 dan 34 UUD 1945.
Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (kanan) menyampaikan pidato kebangsaan./ANTARA-Galih Pradipta
Selanjutnya, membangun masyarakat Indonesia yang cerdas, sehat, berkualitas produktif, dan berdaya saing dalam kehidupan yang aman, rukun, damai, dan bermartabat serta terlindungi oleh jaminan sosial yang berkeadilan tanpa diskriminasi.
Dengan visi dan misi yang membumbung itu, masyarakat malah riuh dengan hiruk pikuk saling serang dan saling tuding kedua kubu. Jargon seperti “Antek Asing”, “Jenderal Kardus”, “Membangun dengan Utang”, dan sebagainya lebih nyaring dari pertempuran ide-ide kedua paslon.
Namun, visi misi kedua paslon juga belum menunjukkan hal konkret dan terprogram yang bisa diulas publik secara lebih mendalam. Padahal, publik membutuhkan program yang terukur dan jelas.
“Dari visi dan misi, terutama di bidang ekonomi, kedua paslon belum menampilkan program apapun, masih sebatas jargon, semuanya masih asumsi,” ujar Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati.