Bisnis.com, JAKARTA — Upaya pemerintah dalam melakukan tindak pengamanan perdagangan internasional dan perluasan pasar ekspor nonmigas ke negara mitra baru masih belum bertaji.
Ketua Komite Tetap Ekspor Kamar Dagang (Kadin) Indonesia Handito Joewono mengatakan, pada 2018, kinerja ekspor nonmigas Indonesia belum mendapat dorongan yang besar dari fasilitas kerja sama dagang. Selain itu menurutnya, pada tahun lalu, Indonesia masih bergantung kepada perjanjian dagang berbentuk regional yang melibatkan Asean, sehingga dampaknya tidak maksimal bagi RI.
“Kebanyakan perjanjian dagang yang sudah kita jalin, dilaksanakan bersama-sama dengan negara Asean lain, sehingga dampaknya tidak sebesar ketika perjanjiannya berbentuk bilateral. Karena kita harus berbagi kepentingan bersama negara Asean lain,” jelasnya, Rabu (16/1/2019).
Selain itu, dia menyebutkan, pada tahun lalu pemerintah relatif lambat dalam mengeksekusi perjanjian dagang yang telah selesai perundingannya. Hal itu, lanjutnya, tercermin dari diterbitkannya peraturan presiden (Perpres) untuk meratifikasi tujuh perjanjian dagang, yang baru diterbitkan pada November 2018. Akibatnya, menurut dia dampaknya sangat terbatas terhadap kinerja ekspor nonmigas RI.
Ketujuh perjanjian dagang itu a.l. First Protocol to Amend the Asean-ANZFTA Agreement, Agreement on Trade in Services under the ASEAN-India FTA (AITISA), Third Protocol to Amend the Agreement on Trade in Goods under ASEAN-Korea FTA (AKFTA), Protocol to Amend the Framework Agreement under ASEAN-China FTA (ACFTA), ASEAN Agreement on Medical Device Directive (AMDD), Protocol to Implement the 9th ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS-9), dan Protocol to Amend Indonesia-Pakistan PTA (IP-PTA).
Indonesia pun jauh tertinggal dibandingkan dengan negara Asean seperti Thailand dan Malaysia lain dalam menjalin kerja sama dagang bebas bilateral. Malaysia tercatat telah memiliki tujuh perjanjian dagang yang telah terlaksana hingga tahun lalu, sedangkan Thailand mempunyai enam perjanjian dagang. Adapun, Indonesia baru memiliki dua perjanjian dagang bilateral yang telah terlaksana, yakni dengan Pakistan dan Jepang.
Di sisi lain, Handito pun mengapresiasi upaya pemerintah yang mengupayakan tindak pengamanan perdagangan internasional sepanjang tahun lalu. Hanya saja upaya itu belum maksimal karena sejumlah produk andalan ekspor Indonesia masih cukup banyak yang mengalami hambatan ekspor, seperti minyak kelapa sawit (CPO) ke India dan Uni Eropa serta produk kertas ke Australia dan Amerika Serikat.
Untuk itu dia mendesak pemerintah mempercepat proses penyelesaian perjanjian dagang dan sengketa dagang yang melibatkan Indonesia pada tahun ini. Sebab, dua hal tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap kinerja ekspor RI.
Adapun, Kementerian Perdagangan mengklaim telah berhasil mengamankan akses pasar ke sembilan negara tujuan ekspor dengan nilai Rp25,2 triliun. Selain itu Indonesia, juga disebutkan mampu memenangkan 19 kasus sengketa perdagangan pada 2018.
Sementara itu, dalam hal perluasan akses pasar ekspor pada 2018, Kemendag menyebutkan ratifikasi tujuh perjanjian dagang tersebut berpotensi meningkatkan ekspor US$1,9 miliar pada 2018.
Namun demikian, capaian tersebut rupanya masih belum mampu membantu Indonesia mendongkrak kinerja ekspornya pada tahun lalu. Pasalnya, pertumbuhan nilai ekspor nonmigas RI pada 2018 hanya mencapai US$162,65 miliar atau tumbuh 6,25% secara year on year (yoy). Capaian itu berada di bawah target Kemendag dengan pertumbuhan ekspor nonmigas sebesar 11%.
Hal senada diungkapkan oleh Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno. Dia mengatakan, salah satu penyebab gagal terungkitnya kinerja ekspor nonmigas tahun lalu adalah terlambatnya eksekusi perjanjian dagang oleh pemerintah. Hal itu membuat manfaat yang didapatkan oleh eksportir Indonesia terlalu rendah.
“Utilisasi perjanjian dagang yang telah kita jalin selama ini seperti dengan Jepang masih sangat rendah. Kondisi itu ditambah lagi oleh baru diterbitkannya ratifikasi tujuh perjanjian dagang pada November. Dengan demikian, manfaat yang diperoleh eksportir pun terbatas,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan, sepanjang tahun lalu tindak pengamanan perdagangan yang dilakukan Indonesia belum terlalu mumpuni. Selain masih lemahnya negosiator Indonesia dalam menyelesaikan perselisihan dagang, Indonesia juga terhambat oleh menurunnya fungsi Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organziation/WTO).
“Fungsi WTO sebagai pengadilan untuk sengketa dagang internasional sedang di titik rendahnya. Maka dari itu, Indonesia juga cukup kesulitan dalam mempercepat penyelesaian sengketa dagang yang melibatkan kita,” ujarnya.
Adapun, terkait dengan perluasan pasar ekspor melalui sejumlah kerja sama dagang internasional, dia meyakini dampaknya baru dapat terasa setidaknya pada 2020. Pasalnya, sejumlah negosiasi pakta dagang dan kerja sama ekonomi baru dapat terselesaikan pada tahun ini.
“Tahun ini kita patut waspada, karena ada potensi pelambatan pertumbuhan volume perdagangan global. Di sisi lain, kita patut waspada dengan negara pesaing kita di Asean seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam. Sebab mereka sudah mampu memaksimalkan perannya dalam global supply chain melalui perjanjian dagang yang dijalin sejak beberapa tahun lalu,” katanya.