Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kebijakan Perdagangan Terbukti Belum Mampu Ciutkan Defisit

Sederet kebijakan pemerintah untuk mengendalikan impor dan memacu ekspor sepanjang 2018 rupanya gagal memberikan efek yang signifikan kepada kinerja perdagangan pada periode yang sama.
Suasana bongkar muat peti kemas di Jakarta International Container Terminal, Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (8/1/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam
Suasana bongkar muat peti kemas di Jakarta International Container Terminal, Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (8/1/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA — Sederet kebijakan pemerintah untuk mengendalikan impor dan memacu ekspor sepanjang 2018 rupanya gagal memberikan efek yang signifikan kepada kinerja perdagangan pada periode yang sama.

Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Benny Soetrisno mengatakan, capaian defisit neraca perdagangan senilai US$8,57 miliar pada tahun lalu salah satunya terjadi karena masih lemahnya instrumen kebijakan pemerintah untuk menopang kinerja perdagangan.

Menurutnya, pemerintah terkesan terlambat dalam merumuskan kebijakan baik untuk mengendalikan impor maupun mendongkrak ekspor.

“Instrumen kebijakan yang ada selama ini masih kurang kuat. Selain itu, [kebijakan diambil] di tengah tekanan dari sisi global yang sangat kuat seperti perang dagang AS dan China. Kinerja sektor manufaktur kita pun  juga belum berjalan maksimal,” jelasnya kepada Bisnis.com, Selasa (15/1/2019).

Dia menuturkan, peningkatan pembuatan pakta dagang dan kerja sama ekonomi baru mulai digenjot pada tahun lalu. Alhasil, dampaknya belum terlalu signifikan terhadap kinerja ekspor Indonesia, terutama untuk sektor nonmigas.

Di sisi lain, dia juga  melihat bahwa tekanan dari sisi global berupa penguatan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah, perang dagang, dan anjloknya harga sejumlah komoditas andalan Indonesia turut menekan kinerja perdagangan RI.

Padahal, sepanjang tahun lalu, RI masih terlalu bergantung kepada komoditas primer seperti minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO), batu bara dan karet sebagai penopang ekspor.

“Dari sisi manufaktur, dukungan dari pemerintah masih sangat terbatas. Harga gas dan listrik masih sangat tinggi. Tak heran jika dukungan dari sektor industri pengolahan masih terbatas jika dibandingkan dengan komoditas seperti CPO dan batu bara,” jelasnya.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita berdalih, jebloknya kinerja perdagangan Indonesia pada 2018 tersebut salah satunya disebabkan oleh belum banyaknya pakta dagang dan kerja sama ekonomi yang dijalin Indonesia.

Situasi tersebut didukung pula oleh kinerja perdagangan global yang tertekan lantaran munculnya perang dagang antara AS dan China.

“Ekspor nonmigas kita masih belum maksimal. Kita realistis saja. Maka dari itu, kita pacu kerja sama dagang di tengah ketidakpastian global yang serba meningkat ini, terutama ke pasar nontradisional. Supaya ke depan kita punya jaminan yang lebih kuat untuk memacu ekspor,” jelasnya.

Dia pun menyebutkan, anjloknya harga komoditas andalan ekspor Indonesia seperti CPO dan karet turut menyumbang lemahnya kinerja ekspor nonmigas RI.

Untuk itu, dia menjajikan pada tahun depan akan menyiapkan beberapa instrumen untuk memacu ekspor produk olahan seperti tekstil dan produk tekstil serta otomotif, sebagai diversifikasi dari komoditas primer seperti CPO dan karet. 

Catatan defisit neraca perdagangan 2018 sekaligus menjadi yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Defisit pernah terjadi pada 2014 sejumlah US$2,20 miliar, lalu 2013 dengan US$4,08 miliar, dan 2012 senilai US$2,11 miliar.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan, defisit neraca perdagangan pada 2018 paling besar disumbangkan oleh sektor migas yang mencatat defisit US$12,4 miliar atau tumbuh dari 2017 sebesar US$8,57 miliar.

Defisit migas pada tahun lalu utamanya didorong oleh defisit minyak mentah  senilai US$4,04 miliar dan hasil minyak US$15,95 miliar.

“Berdasarkan data yang kami miliki, defisit juga terjadi pada 1975 senilai US$391 juta. Namun, sayangnya kalau ditarik mundur dari 1975 hingga 1945, kami belum memiliki datanya,” ujarnya.

Adapun,  jebloknya kinerja sektor migas itu, tidak dapat ditopang oleh kinerja nonmigas yang hanya mencatatkan surplus US$3,83 miliar pada 2018. Capaian itu turun tajam dari 2017 sejumlah US$20,41 miliar.

“Kinerja sektor nonmigas ini paling besar disebabkan oleh anjloknya harga dan volume ekspor komoditas seperti CPO dan karet. Hal ini sejatinya menjadi pembelajaran bagi kita ke depan untuk melakukan diversifikasi produk ekspor,” lanjut Suhariyanto.

Secara terpisah, ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan, gagalnya kinerja sektor nonmigas menopang sektor migas disebabkan oleh sektor industri Tanah Air yang terus terkoreksi kinerjanya.

Hal itu terlihat dari kontribusi sektor manufaktur RI terhadap produk domestik bruto tahun ini yang berada di kisaran 19%. Capaian itu turun dari 2009, di mana kontribusi sektor manufaktur berada di kisaran 22%, padahal kala itu booming komoditas sedang terjadi.

“Sehingga, meskipun sektor industri masih menjadi kontributor terbesar ekspor RI, dengan porsi 72,16%, kinerjanya tetap tidak dapat mendongkrak ekspor secara maksimal. Kita masih terlena dengan komoditas primer seperti CPO dan batubara yang sejatinya rentan terkoreksi kinerjanya,” ujarnya.

IMPOR MIGAS

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan, upaya pemerintah untuk melakukan pengendalian impor migas melalui mandatori B20 belum berdampak maksimal.

Pasalnya, hingga akhir 2018, implementasinya baru mencapai 90%. Tak heran jika nilai impor migas 2018 masih terus mengalami kenaikan. Tercatat nilai impor migas tahun lalu naik 22,59% secara year on year (yoy) menjadi US$29,80 miliar.

“Sementara itu, pengendalian impor melalui kebijakan PPh pasal 22 juga dampaknya terbatas dan belum banyak membantu. Sebab yang dikenakan hanya barang konsumsi yang kontribusinya di bawah 10% dari total impor dan baru diimplementasikan September 2018.”

 Namun demikian, Shinta mengatakan melonjaknya impor migas maupun nonmigas sepanjang tahun lalu merupakan hasil dari perbaikan sektor industri dan infrastruktur yang terjadi pada 2018. Menurutnya, ketika kondisi investasi dan daya beli masyarakat membaik, otomatis industri bergerak.

Hanya saja, lanjutnya, Indonesia selama ini kurang memiliki kemampuan di pengolahan produk menengah dan bahan baku setengah jadi. Akibatnya, perusahaan RI harus mendapatkannya dari impor. Fakta itu didorong pula oleh tingkat konsumsi masyarakat yang naik, sehingga memicu kenaikan impor barang jadi dan akhirnya mendorong terjadinya defisit neraca perdagangan.

“Ini merupakan kenyataan yang harus diterima, dan pemerintah harus menyadari bahwa inti permasalahannya adalah industrialisasi kita mulai naik. Kondisi ini baik, karena sebelumnya kita terlena dengan ekspor komoditas, yang membuat sektor industri terabaikan,” jelasnya.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper