Bisnis.com, JAKARTA — Akreditasi perguruan tinggi dan program studi di Indonesia mendesak untuk ditingkatkan, lantaran masih minimnya jumlah instansi pendidikan tinggi yang memenuhi standar.
Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Budi Djatmiko memaparkan, saat ini masih ada sekitar 56% perguruan tinggi yang belum terakreditasi.
Tidak hanya itu, terdapat sekitar 23% program studi (prodi) yang belum terakreditasi karena banyaknya prodi yang baru berdiri.
Berdasarkan data Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), dari total 4.600 perguruan tinggi di Indonesia, hingga kini baru sebanyak 1.975 di antaranya yang telah terakreditasi.
Sementara itu, dari total 27.000 prodi di Tanah Air, hinggi kini baru 20.350 di antaranya yang sudah terakreditasi.
“Jadi, jumlah perguruan tinggi yang ada sebanyak 4.600 unit, baru sekitar 1.900-an perguruan yang terakreditasi. Ini memang masih sedikit sekali,” ujarBudi saat dihubungi Bisnis.com, Selasa (15/1/2019).
Dia menegaskan, akreditasi perguruan tinggi dan program studi sebenarnya telah diwajibkan oleh pemerintah sejak 2009. Namun, saat itu targetnya hanya 60 perguruan tinggi per tahun yang dapat mengantongi akreditasi.
Lalu, pemerintah mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Dikti No.194/E.E3/AK/2014 tentang Izin Penyelenggara dan Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi. Namun, ternyata upaya itu tidak membuahkan hasil yang signifikan untuk dapat meningkatkan jumlah akreditasi perguruan tinggi.
“Perguruan tinggi bersandar pada surat edran tersebut. Mereka yang sudah mengirim surat pernyataan pada BAN-PT dianggap sudah mengirim berkas, dan berkas otentik paling lambat dikirim pada 10 Agustus 2019 atau sampai ada aturan menteri,” katanya.
Selain itu, sebut Budi, salah satu persyaratan agar perguruan tinggi terakreditasi yakni harus ada program studi yang terakreditasi. Secara total, terdapat 9 kriteria agar perguruan tinggi dapat terakreditasi.
Penentuan kriteria-kriteria tersebut didasarkan oleh visi, misi, tujuan dan strategi; tata pamong; manajemen dan kerja sama; sumber daya manusia; keuangan, aset, dan fasilitas; pembelajaran; penelitian; pengabdian masyarakat; serta luaran dan dampak.
Menurut Budi, banyaknya perguruan tinggi yang belum terakreditasi juga dikarena keengganan perguruan tinggi untuk melakukan akreditasi karena mengganggapnya tak terlalu penting.
Lebih lanjut lagi, Budi menuturkan, setiap tahun pemerintah hanya mengganggarkan untuk 1.000 unit perguruan tinggi melakukan akreditasi.
Pasalnya, biaya perguruan tinggi dan program studi yang masuk dalam BAN-PT untuk melakukan akreditasi ditanggung oleh negara dalam APBN.
“Biaya akreditasi tergantung besar atau tidaknya perguruan tinggi dan banyak atau tidaknya asesor. Kalau 3 asesor, ya sekitar Rp90 juta. Untuk di luar BAN-PT, yakni PT kesehatan, karena sudah ada LAM PT Kesehatan dan prodi kesehatan harus membayar sendiri karena tidak dibayarkan oleh APBN. Itu biayanya sekitar Rp80 juta-an,” ucapnya.
KEKURANGAN ASESOR
Sementara itu, pemerhati pendidikan dari Universitas Multimedia Nusantara Doni Koesoema berpendapat, akreditasi kelembagaan tergantung kapasitas dan kuantitas asessor.
Dengan demikian, perlu ada sistem yang mempermudah akreditasi agar masyarakat tidak dirugikan akibat perguruan tingginya belum terakreditasi.
“Memang tak dipungkiri jumlah dana dan asesor terbatas,” katanya.
Pemerintah, lanjutnya, bisa membuat mekanisme Lembaga Akreditasi Mandiri Swadaya (LAMS) perguruan tiggi sehingga proses akreditasi bisa lebih cepat.
Hal Ini memang pernah dimulai sejak 2013 tetapi melalui program studi terbatas dan hingga kini belum berjalan dengan baik.
“Memang, ini harus ada kesepakatan bersama terkait dengan mekanisme dan prosedurnya untuk peningkatan akreditasi perguruan tinggi dan program studi,” ujarnya.
Pada kesempatan terpisah, Ketua Majelis Akreditasi BAN-PT Dwi Sasongko tak menampik masih banyak perguruan tinggi yang belum terakreditasi.
Namun, hal itu dikarenakan keengganan perguruan tinggi itu sendiri untuk menyiapkan berkas yang dipersyaratkan dalam akreditasi.
“Memang ini diharuskan dan ada aturannya agar semua perguruan tinggi terakreditasi, tetapi banyak yang ‘masa bodoh’. Padahal, di dunia kerja, akreditasi perguruan tinggi dan program studi itu yang utama. Kalau perguruan tingginya enggak ada terakreditasi, lulusannya susah diterima kerja,” tuturnya.
Menurutnya, peningkatan jumlah perguruan tinggi dan program studi yang terakreditasi harus dimulai dari tuntutan para mahasiswa agar masing-masing perguruan tingginya melakukan akreditasi.
Pemerintah sendiri memang telah menganggarkan setiap tahunnya biaya akreditasi untuk 900 perguruan tinggi dan 4.100 program studi. Namun, pagu tersebut dinilai tak cukup.
Menurut Dwi, seluruh perguruan tinggi dan program studi di Tanah Air seharusnya menyandang status akreditasi. Terlebih, masa berlaku akreditasi setiap perguruan tinggi dan program studi hanya 5 tahun sehingga setiap 5 tahun harus dilakukan re-akreditasi.
“Kami juga tak memungkiri jumlah asesor yang hanya sekitar 2.000 orang ini tak dapat meninjau seluruh program studi perguruan tinggi yang terakreditasi,” ucap Dwi.
Sementara itu, pengamat pendidikan Budi Trikorayanto meminta agar pemerintah memberikan sanksi tegas bagi perguruan tinggi dan program studi yang belum terakreditasi.
Pasalnya, dalam rangka menyambut industri 4.0, akreditasi pendidikan menjadi penting untuk juga menjamin kualitas pengajaran mahasiswa selama di perguruan tinggi.
“Akreditasi ini juga menjadi filter di tengah banyaknya perguruan tinggi dan program studi di Tanah Air. Buat apa banyak perguruan tinggi dan program studi kalau kualitasnya tak terjamin?” katanya.
Terlebih, tegasnya, saat ini memang terjadi ketidaksinkronan antara kebutuhan industri dan kompetensi lulusan perguruan tinggi sehingga memang diperlukan perombakan sistem pendidikan secara menyeluruh.
“Tidak semua lulusan perguruan tinggi ini diterima kerja sesuai dengan pendidikan yang mereka peroleh sehingga perubahan harus dilakukan mulai dari mata kuliah yang mereka dapat, program studi yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha, dosen kompeten, instruktur dari kalangan usaha dan tentu akreditasi perguruan tingginya,” terang Budi.