Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Peremajaan Dikurangi, Produksi Kelapa bisa Turun 5%

Keputusan pemerintah untuk mengurangi anggaran peremajaan komoditas kelapa dinilai dapat berbuntut panjang.
Pedagang musiman membawa buah kelapa muda untuk dijajakan sebagai minuman berbuka puasa di Desa Cot Cut, Aceh Besar, Aceh, Sabtu (27/5/2018)./Antara-Irwansyah Putra
Pedagang musiman membawa buah kelapa muda untuk dijajakan sebagai minuman berbuka puasa di Desa Cot Cut, Aceh Besar, Aceh, Sabtu (27/5/2018)./Antara-Irwansyah Putra

Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan pemerintah untuk mengurangi anggaran peremajaan komoditas kelapa dinilai dapat berbuntut panjang.
 
Ketua Umum Dewan Kelapa Indonesia Irawadi Jamaran mengatakan keputusan pemerintah mengurangi anggaran peremajaan komoditas kelapa bisa berdampak simultan. Menurutnya, ada potensi pengurangan jumlah produksi 5% sampai akhir tahun.
 
"Kemungkinan sedikit lebih turun produksi tahun ini dan sampai lima tahun ke depan kalau peremajaan dikurangi. Kira-kira penurunan itu 5% dari 1 miliar butir kelapa per tahun [atau setara dengan produksi 2,8 juta ton]," paparnya kepada Bisnis, Rabu (2/1/2019).
 
Padahal, lanjut Irawadi, mayoritas kebun kelapa milik petani rakyat sudah waktunya diremajakan karena 50% berusia di atas 25 tahun. Luas kebun milik swasta tidak lebih dari 30.000 hektare (ha) dari total luas lahan 3,6 juta ha. Adapun sisanya dimiliki oleh petani rakyat.
 
"Tidak apa-apa anggaran dikurangi, kalau maunya begitu. Kelapa itu milik rakyat 100%, kalau itu dikurangi itu nasib kami. Kami sudah menganjurkan dan membujuk pemerintah pusat serta kabupaten untuk peremajaan. Namanya bujukan tidak bisa menekan," tuturnya.
 
Pemerintah memang dinilai kurang menaruh perhatian khusus kepada komoditas perkebunan tersebut. Dewan Kelapa Indonesia mengaku sudah meminta perhatian khusus untuk memberikan petani bibit unggul secara gratis maupun dibayar secara kredit atau menggunakan hasil produksi kelapa. 
 
Upaya tersebut sudah dilakukan ke pemerintah pusat dan daerah. Namun, Irawadi mengungkapkan respons yang diberikan pun beragam.

Salah satu alasan tidak ada perhatian khusus pun karena tidak ada gerakan nasional (gernas).
 
"Ada yang positif dan ada yang kurang bergairah [dengan ide pengembangan kelapa kami] karena komoditas lain itu ada gernas sedangkan kelapa tidak ada. Kami sedang rancang itu. Kalau ada gernas, katanya lebih gaya dalam politik. Karena di beberapa tempat ada anggaran kelapa dipindah ke kakao karena ada gernas," ucapnya.

Dewan Kelapa Indonesia menyampaikan akan mengadakan gernas paling lambat tahun depan dan saat ini, rancangannya sudah rampung. Namun, karena umumnya kepemilikan lahan kebun kelapa kecil, maka petani sulit diajak membayar iuran. Hal ini berbeda dengan kebun kelapa sawit yang lahannya besar.
 
Tiap petani disebut hanya memiliki lahan kurang dari 1 ha atau sama dengan kepemilikan lahan petani padi. Dengan demikian, dana iuran yang dibebankan pun tidak mungkin besar.
 
"Produktivitas kebun per 1 ha pun tidak tinggi. Kira-kira setara dengan 1 ton ekuivalen kopra. Kalau bibit yang bagus paling 1,5 ton per ha atau kalau dari jenis unggul 2-3 ton  per ha," sebut Irawadi.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal (Dirjen) Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan), produktivitas kelapa dalam lima tahun terakhir menurun dari 1,13 ton per ha pada 2013 menjadi 1,1 ton per pada 2018. Produksinya pun terkoreksi dari 3 juta ton pada 2013 menjadi 2,8 juta ton pada 2018.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Pandu Gumilar
Editor : Annisa Margrit

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper