Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rhenald Kasali: Soal Divestasi Freeport dan Mengapa Kita Harus Beli Sahamnya

Membangun Freeport bukanlah seperti mengontrakkan tanah seperti umumnya. 

Bisnis.com, JAKARTA - Membangun Freeport bukanlah seperti mengontrakkan tanah seperti umumnya. 

Perlu corporate strategy dan corporate finance yang sukses diterapkan para negosiator yang telah membuat pusing petinggi Freeport dengan deal yang katanya hebat.

Menteri sekarang jago dan rata-rata pejabatnya PhD pula, lulusan University Illinois plus UI-ITB-UGM- UNAIR).

Saya menduga mereka yang tidak suka dengan divestasi saham Freeport, hanya kurang kompetensi saja. Maklum menganalisis Freeport ini complex. Ini gabungan macro-micro, corporate finance dan Fiscal policy, masalah hukum dan lingkungan hidup.

Ada kepentingan domestik dengan global value chain. Rumit sekali. Sudah begitu sukses ini ada dampak politisnya. Pantaslah jika cukup 'mengundang' opini.

Ban Gu dalam Kitap Han mengatakan:
“Informasi yang didapat dari mendengar penuturan orang sebanyak seratus kali, keakurasiannya kalah dengan yang diperoleh dari melihat sendiri meski cuma sekali.” (saya kutip dari tulisan seorang santri yg sedang kuliah di Beijing, sayang tak tertulis namanya. Maaf)

Kalau kita pernah ke sana (saya berkali-kali ke sana untuk riset dan ikut upacara bendera di bawah tanah dan di puncaknya, maka kita jadi tahu bahwa ada perbedaan antara Bumi dan kekayaan alam yg terkandung didalamnya yang memang milik kita dengan perusahaan tambang yang bernama Freeport dan bukan milik kita

Kita tak pernah mendirikan Freeport. Juga tak pernah taruh uang di perusahaan itu sehingga kita punya saham. Jadi kalau Freeport diusir atau berakhir (2021) yg kembali ke pangkuan kita ya cuma buminya saja, tanahnya. Gitu saja...hehe. Lalu untuk eksploitasinya kita harus tanam modal juga bukan? Artinya Keluar duit lagi, bukan?

PT nya sendiri, which is di dalammya ada asset2, mesin-mesin, skilled worker, jaringan bisnis, akan mereka angkat. Lha punya mereka kan? Mengangkatnya tidak sulit. Wong itu global company yang punya tambang di manca negara.

Maka lucu jika ada yang bilang tahun 2021 sdh otomatis semua jadi milik kita lalu ngapain harus dibayar? Hehe ini pendapat yang benar-benar funny. Mereka mungkin kurang baca bahwa Kontrak Karya pertambangan ala Freeport ini tidak sama dengan KK di sektor migas yang kalau sudah berakhir akan jadi milik kita. 

Justru kalau kita pernah melihat ke sana kita jadi mengerti beda antara PT dengan bumi itu. Karena yang kita mau kuasai bukan cuma buminya, tapi teknologinya, modal-modalnya, jaringan pemasarannya, cara menambang skala besar dan seterusnya. Itulah maka kita minta mereka divestasi...itulah makanya kita harus jadikan anak perusahaan BUMN kita yang sehat.

Kalau kita pernah kesana akan mengerti Freeport itu sebuah kesatuan global, yang kuasai teknologi tingkat tinggi dengan R&D dalam bidang pertambangan yang luar biasa. Untuk eksploit tambangnya, butuh alat-alat berat yang tak pernah kita lihat di Pulau Jawa sekalipun.

Kendaraan untuk membawa pegawainya ke area tambang pun harus yang ber CC tinggi. 3000-5000 CC. Juga harus antipeluru karena sering didor penembak liar. Atau pakai heli Puma yang harganya triliunan rupiah.

Memang tambang Freeport fase ke dua yang kini 51.2% sudah sah milik RI ini ada di bawah tanah. Cadangannya cukup untuk usaha 40-50 tahun ke depan. Tapi untuk masuk ke terowongan itu kita harus naik ke puncak yang tinggi dulu dengan kendaraan ber CC tinggi tadi menanjak sekitar 45 drajat sekitar dua jam dari bawah dan perlu teknologi yang mahal. Apa ini akan ditinggal oleh Freeport kalau KK tahun 2021 nya berakhir?

Soal Global Bond

So, apakah bisnis atau global bond yang dipakai utk membiayai divestasi ini tak berisiko? Pastilah.

Namanya juga bisnis, mana ada bisnis atau pembiayaan yg tak beresiko? Lebih beresiko lagi kalau belinya pakai loan, atau APBN karena rupiah akan langsung tertekan. Ini kan kita berada di tengah-tengah era trade war.

Begitu pinjam pakai loan, maka tahun depan sdh langsung harus bayar interest besar-besaran dan pokoknya sekaligus. Beda dengan bond. Pokoknya di bayar di belakang. Artinya kita bisa menabung, dapat bunga pula.

Ebitda Freeport itu setahun besarnya US$4 miliar. Net profitnya US$2 miliar. Maka kalau kita beli sahamnya dlm skema divestasi ini senilai US$4 miliar, dalam 4 tahun global bond itu sudah bisa dibayar dari devidennya saja. Ini kan sama dengan modal dengkul. Siapa yg ngga ngiler. Makanya global bond itu oversubscribe

Lalu kita akan dapat PBB yang dulu tak pernah dibayar Freeport, dapat bea keluar, dapat smelter yang dulu tak dienforce di era alm IB Sujana dan penerusnya. Mereka Semuanya serba kompromi dan menguntungkan Freeport yang memurnikan emasnya di Spanyol sehingga kita tak tahu kandungan aktualnya berapa emas, perak dan coopernya. Kita hanya dikasih norma dan manggut-manggut saja dulu itu. Kini Freeport lebih kooperatif karena mereka mendapat lawan yang seimbang. Indonesia harus percaya diri. Harus bangga dengan equal position ini.

Tapi perlu kita ingatkan juga, tahun depan produksi tambang ini akan drop dulu. Sebab tambang fase pertama di puncak Grassberg akan ditutup, dah habis tambang yang open pit itu. Maka ada fase peralihan selama 1-2 tahun menuju tambang baru yg underground yg ijinnya baru keluar. Ijin baru ini pun bukan lagi KK, tapi surat ijin sesuai UU Minerba yaitu IUP.

So, selama masa transisi pasti labanya akan turun dulu sementara. Pasti nanti akan ada politisasi lagi. Bersiap-siaah mendengarkan hoax-hoax baru ya.

Itu sebabnya perlu bond dengan tenor yang panjang.

Untuk apa? Untuk kurangi risiko. Kok malah dinilai beresiko?

Kalau ambil buminya saja ya kita pasti tak perlu bayar apa-apa. Tapi kalau mau pikir lebih panjang sedikit, maka kita perlu ambil saham PTnya, untuk apa? Untuk kuasai teknologi dan aset2nya, ikut memimpin perusahaan, sehingga lagi-lagi kita tambah pengetahuan dan kompetensinya. Maka itulah langkahnya, beli sahamnya dong.

Dengan skill itu holding tambang kita kelak akan bisa ambil alih tambang-tambang asing lainnya yang sudah diijinkan berusaha disni dengan skala besar. Kita juga berpotensi membeli perusahaan tambang kelas dunia di Brazil, Kanada, Australia bahkan Afrika.

Jadi melihatnya harus jauuuuh ke depan. Harus berani investasi dong. Harus visioner. Dan...yang lebih penting, berani untuk maju dan hidup.

Jangan hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Orang berani memang sering dikata-katakan goblok oleh mereka yang tak berani melakukan apa-apa selain berkata-kata. Sebab berkata-kata itu tak ada risikonya sama sekali. Berkata2 itu bahkan dapat tepokan tangan. Berbuat itu, selalu ada resiko dan ada fase belajar dan sulitnya. Hadapi saja.

Gitu aja kok repot ya? Kita kan bangsa yg bermartabat, bukan preman atuh...sabar ya.

Ayo liburan aja agar banyak senyum..cheers

Demikian pandangan saya. Salam
 
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rhenad Kasali

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper