Bisnis.com, JAKARTA — Setelah sebelumnya terus bekeras bahwa target pertumbuhan ekspor nonmigas 2018 akan tercapai, pemerintah akhirnya berubah haluan dan memilih untuk bersikap realistis di tengah tren pelemahan ekspor yang terus berlanjut.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri mengatakan, pemerintah saat ini sudah tidak lagi dapat berbuat banyak untuk memacu ekspor nonmigas guna mengejar target pertumbuhan sebesar 11% tahun ini.
Apabila didasarkan pada total nilai eskpor nonmigas pada 2017 yang mencapai US$152,99 dan target pertumbuhan tahun ini sebesar 11%, maka nilai ekspor nonmigas Indonesia pada 2018 dipatok mencapai US$187,29 miliar.
Namun, Kasan mengklaim, kondisi ekonomi global yang dipenuhi ketidakpastian membuat kinerja ekspor nonmigas sulit untuk dipacu.
“Waktu tinggal satu bulan lagi. Untuk itu, hingga Desember kami akan memilih realistis dengan target dan pencapaian yang ada saat ini,” jelasnya kepada Bisnis.com, Senin (17/12/2018).
Menurutnya, pemerintah sebenarnya telah berupaya maksimal untuk menggenjot ekspor nonmigas. Namun, dia menilai, hambatan dagang—terutama untuk komoditas ekspor unggulan seperti minyak kelapa sawit (crude palm oil/cpo) ke India dan Uni Eropa—terlampau besar, sehingga melemahkan kinerja ekspor nonmigas RI secara keseluruhan.
Di sisi lain, naik turunnya tensi perang dagang antara China dan AS membuat kondisi ekonomi dan perdagangan global menjadi semakin tidak pasti. dia juga mengakui industri pengolahan Indonesia belum terlalu mumpuni, sehingga masih sangat rentan untuk dijadikan andalan ekspor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor nonmigas RI sepanjang Januari—November 2018 hanya tumbuh 7,47% secara year on year (yoy) dengan mencapai US$150,14 miliar. Sementara itu, secara month to month (mtm), ekspor nonmigas terkoreksi 6,25% menjadi US$14,03 miliar. Secara yoy, nilai ekspor November juga turun 4,12%.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, nilai ekspor November 2018 ini menjadi anomali tersendiri selama 3 tahun terakhir. Pasalnya, nilai ekspor nonmigas pada November selalu lebih tinggi dibandingkan dengan Oktober.
Kondisi serupa juga terjadi pada sektor industri pengolahan, yang dalam 2 tahun terakhir selalu menunjukkan pembalikan pascamelemah pada September dan Oktober.
“Penyumbang koreksi ekspor nonmigas November dibandingkan dengan Oktober paling besar adalah kinerja dari CPO dan turunannya serta karet yang juga memburuk. Sepanjang tahun ini, CPO juga masih menjadi penyebab utama ekspor nonmigas kita masih sulit dipacu,” jelasnya.
Hal itu terbukti dari nilai ekspor produk lemah dan minyak/hewan nabati yang terkoreksi 10,82% menjadi US$18,76 miliar sepanjang Januari—November 2018. Sementara itu, secara mtm, ekspor komoditas itu pada bulan lalu terkoreksi sangat dalam, yakni turun 180,7% menjadi US$1,65 miliar.
Di samping itu, ekspor karet dan barang dari karet sepanjang 11 bulan pertama tahun berjalan turun 12% menjadi US$7,05 miliar.
Untuk itu, dia meminta agar pemerintah meningkatkan upayanya untuk memacu pertumbuhan di sektor industri pengolahan. Hal itu dapat menjadi salah satu benteng agar kinerja ekspor nonmigas Indonesia terus berkembang ke depannya.
JANGAN BERHARAP
Saat dihubungi terpisah, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Dan Industri (Kadin) Indonesia bidang perindustrian Johny Darmawan mengatakan, pemerintah tidak perlu berharap banyak pada kinerja ekspor tahun ini. Pasalnya, harapan untuk mendapatkan dorongan dari ekspor nonmigas—terutama industri pengolahan—pada November telah pupus.
“November ini setiap tahunnya hampir selalu mencatatkan kinerja terbaiknya, paling tidak untuk semester II. Namun, data terbaru justru berbicara sebaliknya. Kondisi ini harusnya menjadi warning bagi pemerintah untuk berbenah memperbaiki sektor nonmigas, terutama industri pengolahan selain CPO,” katanya.
Menurutnya, secara tren, ekspor Desember hampir selalu mengalami penurunan dibandingkan dengan November. Dengan demikian, target pertumbuhan ekspor nonmigas 11% secara yoy dipastikan tidak tercapai.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W.Kamdani mengatakan, kinerja ekspor nonmigas yang masih melempem disebabkan oleh rumitnya regulasi ekspor di dalam negeri. Di sisi lain, para pengusaha, terutama sektor industri pengolahan masih kesulitan untuk mencari substitusi bahan baku dan penolong untuk berproduksi.
“CPO dan karet, bisa kita hasilkan dari dalam negeri bahan bakunya, tetapi industri pengolahannya juga sulit untuk ekspor karena besarnya hambatan di luar negeri. Sementara itu, kita punya peluang di sektor pengolahan lain seperti farmasi serta makanan dan minuman, tetapi pelaku industrinya kesulitan mendapatkan bahan baku,” jelasnya.
Adapun, ekonom Core Indonesia Pieter Abdullah menjelaskan, kinerja ekspor nonmigas yang tidak sesuai target merupakan tamparan bagi pemerintah. Pasalnya, hal itu menjadi bukti, upaya diversifikasi produk ekspor Tanah Air yang dicanangkan pemerintah tidak berjalan dengan baik.
“Indonesia tidak punya peta jalan yang jelas untuk mengembangkan industrinya. Akhirnya seperti ini, industri kita tidak mampu menjadi tumpuan yang baik, dan lagi-lagi kita harus bergantung pada industri olahan atau produk ekspor mentah klasik seperti CPO,” ujarnya.
Dia mengatakan, pemerintah sejatinya menyadari ketidakmampuannya untuk mendukung industri berbasis ekspor terutama industri pengolahan. Untuk itu, pemerintah memilih untuk melakukan pengetatan pada sisi impornya.
Namun, lanjut dia, kebijakan pengetatan impor yang dilakukan oleh pemerintah justru mengganggu sektor industri berbasis ekspor. Alhasil, kinerja ekspor industri pengolahan nonCPO dan karet tidak berkembang dengan baik.