Bisnis.com, JAKARTA — Arus impor besi dan baja, terutama dari China, terus melaju kencang sebagai akibat dari pola pengawasan impor yang belum jelas.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) impor besi dan baja sepanjang Januari—Oktober 2018 mencapai US$8,06 miliar, tumbuh 6,13% secara year on year (yoy). Adapun, impor dari China pada periode yang sama tahun ini mencapai US$7,97 miliar, tumbuh 33,39% secara yoy. Sementara itu, impor benda-benda dari besi dan baja asal China pada rentang yang sama mencapai US$1,21 miliar, meroket 139,45% secara yoy.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Besi dan Baja Indonesia Ismail Mandry mengatakan, banjir produk besi dan baja asal China terjadi akibat kebijakan perizinan dan pengawasan impor yang masih lemah serta tidak konsisten.
“Dugaan saya, importir ini membeli dalam bentuk rangkaian utuh, misal konstruksi jembatan, konstruksi pabrik khusus, atau tower yang keterangannya berbahan boron. Ini tidak diperiksa betul, apakah di rangkaian itu sebenarnya ada produk yang memang bisa kita buat di dalam negeri?” ujarnya kepada Bisnis.com, Kamis(22/11/2018).
Menurut Ismail, dengan memberi keterangan ‘berbaboron’, impor produk tersebut bebas bea masuk. Hal itulah yang ditengarai menjadi penyebab lonjakan impor besi dan baja. Terlebih, lanjutnya, Indonesia saat ini tengah gencar membangun proyek-proyek infrastruktur.
Selain itu, dia juga menduga tingginya permintaan rangkaian besi dan baja untuk konstruksi pabrik baja nirkarat di Morowali adalah salah satu penyebab lonjakan impor.
Dia menjelaskan bahwa investasi di Morowali, yang didominasi oleh pemodal China, menjadi salah satu pendukung derasnya impor benda dari besi dan baja. Para investor itu ditengarai lebih memilih mengimpor produk dari China yang terbilang lebih murah dibandingkan dengan buatan Indonesia. Pasalnya, industri besi dan baja di China disokong oleh subsidi dari pemerintah.
Sementara itu, upaya Kementerian Perdagangan untuk mengendalikan impor besi dan baja dengan mengembalikan pengawasan komoditas tersebut dari postborder ke border melalui pusat logistik berikat (PLB) dinilainya tidak efektif.
Sebab, menurutnya, kebijakan itu justru akan memberatkan pengusaha lokal yang ingin mengimpor barang mentah untuk campuran besi dan baja. Dengan tata niaga impor yang harus melalui PLB, ongkos logistik produsen domestik menjadi bengkak.
“Jadi, sebenarnya, persoalannya bukan dikembalikan ke border atau tetap di postboder. Persoalannya adalah pemerintah tidak memegang data produksi domestik yang valid. Sehingga, banyak importir nakal yang bisa berdiri dua kaki, yakni sebagai produsen sekaligus trader produk impor jadi,” jelasnya.
Untuk itu, dia menyarankan agar proses impor besi dan baja dikembalikan dengan menyertakan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian. Rekomendasi itu diharapkan mengacu pada data produksi besi dan baja yang dimiliki oleh asosiasi dalam negeri.
Direktur Eksekutif Asosiasi Besi dan Baja Indonesia Yerry menambahkan, tingginya impor besi dan baja serta produk turunannya dari China disebabkan oleh kebijakan pembebasan bea masuk produk boron. Pasalnya, selama ini impor boron mayoritas dari China.
“Baja boron sebenarnya sama dengan baja karbon biasa, karena kandungan boronnya sebenarnya hanya sedikit sekali. Pengaplikasiannya di lapangan masih sama dengan baja karbon yaitu untuk konstruksi. Padahal, produsen kita sangat banyak yang membuat baja karbon,” jelas Yerry.
Di sisi lain, Mendag Enggartiasto Lukita mengaku terus membahas eksekusi kebijakan pengembalian jalur impor besi dan baja dari postborder ke border. Belum dieksekusinya kebijakan itu, menurutnya, disebabkan karena kebijakan tersebut melibatkan berbagai kementerian dan lembaga.“