Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) meminta agar pemerintah menunda niatan untuk membuka peluang investasi baru di sektor industri antara karet (processing crumb rubber/SIR 20) seiring dengan semakin melemahnya harga karet dunia.
Ketua Umum Gapkindo Moenardji Soedargo menyebutkan, pelemahan harga karet dunia diketahui membuat sejumah petani tidak lagi mengusahakan tanaman karetnya dan memilih untuk beralih profesi demi mencukupi kebutuhan. Sebagian petani atau pemilik lahan karet rakyat, khususnya di Sumatra Utara, bahkan berinisiatif untuk beralih ke tanaman lain seperti sawit dan ubi.
Sebagai akibatnya, sejumlah pabrik crumb rubber mengalami kekurangan pasokan bahan baku, bahkan terancam berpotensi berhenti beroperasi satu per satu.
Menurutnya, kondisi yang terjadi saat ini merupakan cerminan dari rendahnya harga karet internasional yang tidak lagi bisa memberi reward kepada petani.
“Dalam equasi mata rantai pasok disisi Indonesia, petani dan prosesor/ eksportir adalah ibarat dalam 1 kapal dalam menghadapi tekanan harga yang berlangsung dipasar internasional,” katanya kepada Bisnis, Senin (29/10/2018).
Kendati demikian, pihaknya meyakini bahwa secara fundamental, industri ini masih tetap memiliki peluang gemilang. Pasalnya, kondisi market pressure biasanya hanya berlangsung sementara dan karet alam akan tetap dibutuhkan. Namun, dia mengakui bahwa industri global memerlukan waktu untuk menyadari hal ini.
Untuk itu, dia meminta agar pemerintah bisa mengambil sikap guna mengantisipasi terjadinya penutupan pabrik-pabrik yang ada di dalam negeri lantaran kekurangan bahan baku. Salah satunya adalah dengan menunda atau membatalkan niatan untuk membuka peluang investasi baru di sektor ini.
“Memperjenuh di tinggkat industri ini, percayalah hanya akan membuat seluruh sektor industri karet alam makin terpuruk,” ujarnya.
Lebih lanjut, dia juga berharap agar pemerintah bisa segera merealisasikan wacana pemanfaatan karet sebagai bahan campuran aspal yang diyakini akan sangat mempengaruhi kondisi psikologi pasar dunia.
“ Ini sesuatu yang baru. Usul kami gunakanlah SIR20 sebagai bahan pencampur aspal karet agar industri karet di RI terintergrasi. Sesuai struktur bangun industri karet RI yang sudah sejak [tahun]70an dibangun dengan procesing SIR20. 95% karet alam Indonesia saat ini sudah diolah di industri antara berupa SIR20. Ini legacy program industri karet pemerintah Indonesia,” paparnya.
Adapun terkait kebijakan penerapan pembatasn ekspor atau Agreed Export Tonnage Scheme oleh negara-negara anggota International tripartite Rubber Council (ITRC) yakni Indonesia, Thailand, dan Malaysia, hingga saat ini diketahui belum berhasil mengangkat harga karet meskipun bisa menahan harganya agar tidak terjerembab lebih dalam hingga akhir penerapannya.
Seperti diketahui, penerapan AETS teranyar atau yang ke lima kalinya berakhir pada April 2018. Menurut catatan Bisnis.com harga karet untuk TSR20 berdasarkan SICOM pada pengumuman penerapan AETS ke lima di 30 November 2017 ada di angka US145 sen per kilogram. Adapun selama implementasinya harga karet bergerak di level rata-rata US146,71 sen per kilogram atau hanya meningkat US1,41 sen.
Moenardji pun tak yakin AETS bisa mengangkat harga karet ini jika kembali diterapkan kecuali pemerintah bisa mendorong atau berdiskusi dengan Thailand terkait keseriusannya menjalankan AETS. Pasalnya, Thailand, sebagai salah satu negara eksportir karet menurutnya sudah 2 kali tidak menjalankan kewajibannya sesuai kesepakatan.
“Pihak Indonesia anggota-anggota Gapkindo yang melaksanakan kewajiban AETS guna memenuhi komitmennya pemerintah RI di AETS yang justru dirugikan di kancah pasar dunia. Jadi, tergantung bagaimana pemerintah akan membicarakannya dengan pihak Pemerintah Thailand,”pungkasnya.