Bisnis.com, BANDUNG — Rendahnya pengetahuan dan kesadaran aparatur negara terhadap kesepakatan dan aturan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ditengarai menjadi salah satu penghambat utama kinerja perdagangan internasional Indonesia.
Kepala Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan, kondisi tersebut merupakan masalah klasik yang terus berulang. Bahkan, dia melihat, beberapa pejabat pemerintahan sengaja melanggar kesepakatan yang dibuat RI dengan organisasi internasional tersebut sejak bergabung pada 1995.
“Sosialisasi masif memang perlu untuk meningkatkan pengetahuan pejabat kita terhadap komitmen RI dengan luar negeri, seperti dengan WTO. Akan tetapi, persoalan yang lebih krusial adalah masih adanya pejabat tidak mau tahu dengan kesepakatan tersebut,” ujarnya kepada Bisnis.com, belum lama ini.
Beberapa pejabat yang dimaksudnya tersebut, bahkan secara terang-terangan berbicara di hadapan umum, ketika mengambil kebijakan yang bertentangan dengan kesepakatan WTO. Alhasil, negara mitra dagang RI menjadi lebih mudah untuk melaporkan Indonesia ke WTO.
“Hal itu diperparah pula dengan masih adanya beberapa aturan dalam negeri yang bertentangan dengan komitmen RI di luar negeri. Meskipun, upaya tersebut niatnya baik, yakni untuk melindungi produk dalam negeri,” lanjutnya.
Akibatnya, menurut Yose, perdagangan internasional RI menjadi terganggu dan bahkan terhambat. Pasalnya, ketika gugatan dilayangkan oleh negara mitra terkait dengan pelanggaran dagang sebuah komoditas asal RI, acap kali hasil putusannya atau hukumannya justru melibatkan komoditas lain.
Seperti contohnya, ketika Amerika Serikat (AS) merasa ekspor hortikulturanya masih dihambat ke Indonesia, dan melaporkannya WTO. Akhirnya, AS meminta izin melakukan retaliasi kepada Indonesia, di mana komoditas yang dikenai sanksi tersebut berpeluang tidak terbatas jumlahnya.
Kementerian Perdagangan mencatat hingga 2017, penyelidikan antisubsidies oleh anggota WTO sudah 486 kali. Sebanyak 257 di antaranya berakhir pada pengenaan countervailing duties, dan Indonesia sendiri sudah terkena sebanyak 9 kali.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan, kebijakan subsidi sejatinya tidak selalu melanggar kesepakatan WTO. Hal itu dibuktikan melalui banyaknya negara maju yang tetap memberlakukan subsidi kepada produknya agar laku di pasar internasional, tetapi tetap lolos dari gugatan melalui WTO.
“Maka dari itu, penting bagi kita memiliki orang-orang yang expert tentang kesepakatan WTO. Supaya orang-orang ini bisa menjadi filter ketika aturan baru di dalam negeri dibuat, terutama terkait dengan subsidi atau perlindungan produk dalam negeri,” jelasnya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengakui, rendahnya pengetahuan dan kesadaran sejumlah pejabat negara Indonesia terhadap aturan WTO telah menghambat ekspor Indonesia. Pasalnya, Indonesia sering kali menerapkan kebijakan restriktif terhadap komoditas negara lain, tanpa mempedulikan kesepatan WTO.
“Seharusnya ketika kita sudah setuju ikut kesepakatan internasional, seperti WTO contohnya, aturan di dalam negeri seharusnya menyesuaikan. Nyatanya, malah banyak aturan di dalam negeri, baik baru maupun lama justru berseberangan dengan kesepakatan yang dibuat,” ujarnya.
Alhasil, lanjutnya, produk industri berbasis ekspor yang dibuat di dalam negeri, justru menjadi korban karena menerima aksi balasan dari negara lain. Maka dari itu, menurutnya, tidak mengherankan apabila ekspor Indonesia kurang bergeliat.
TIM KHUSUS
Sementara itu, Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Juwono mengatakan, salah satu solusi untuk menyelesaikan persoalan tersebut adalah membentuk tim khusus penopang perdagangan internasional RI.
Tim tersebut nantinya terdiri dari pejabat kementerian yang memiliki kaitan dengan ekspor dan impor RI dan para ahli di bidang perdagangan internasional.
“Nah di tim itu nanti ditempatkan orang yang sangat paham dengan WTO. Tim ini harapan saya bisa menyiasati kesepakatan WTO secara elegan tanpa terlihat melanggar kesepakatan itu sendiri. Sebab, kita tidak boleh selamanya tunduk dengan WTO. Kita perlu bermain elegan untuk mendorong ekspor produk RI, ” katanya.
Di sisi lain, dia melihat, selama ini Indonesia acap kali tersandung persoalan di WTO karena ego sektoral antarkementerian. Maka dari itu, dia tidak heran jika Indonesia sering kali menelan kekalahan ketika melakukan banding pascadituntut negara lain.
“Tetapi ego sektoral ini menurut saya bukan di menterinya, Sering kali saya lihat egonya ini ada di pejabat eselon I dan II di masing-masing kementerian terkait,” tegasnya.
Adapun, Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang berpendapat, status Direktorat Pengamanan Perdagangan Kemendag sebaiknya diubah menjadi badan agar wewenangnya akan lebih besar untuk mengoreksi dan memberi masukan sebelum ditetapkannya sebuah regulasi.
"Saya mengusulkan DPP Kemendag harus naik menjadi sebuah badan, sehingga memiliki kekuatan untuk menegur setiap direktorat jenderal di setiap kementerian dan lembaga," tuturnya.
Founder Bunjamin & Partners Law Office Erry Bundjamin mengatakan, usulan tersebut sangat relevan seiring dengan meningkatnya perdagangan internasional. Dengan jumlah anggota WTO sebanyak 164 negara, potensi Indonesia untuk diseret ke dalam sengketa dagang oleh negara lain menjadi sangat besar.
"Bahkan saya rasa secepatnya ini harus segera diusulkan, karena dalam 1 bulan terakhir saja kita sudah menerima 1 investigasi dumping, 2 investigasi safeguards, dan 1 investigasi penerapan subsidi di luar ketentuan WTO," katanya.
Menanggapi usulan tersebut, Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Pradnyawati menjelaskan, jika status DPP Kemendag ditingkatkan menjadi badan, direktorat tersebut akan sangat terbantu dalam mengomunikasikan aturan internasional yang mengikat.
Dia mengatakan, selama ini DPP Kemendag telah proaktif melakukan sosialisasi setiap aturan. Hanya saja, banyak temuan sosialisasi itu tidak ditindaklanjuti oleh direktorat di kementerian/lembaga yang bersangkutan.
Lagipula, lanjutnya, negara-negara yang aktif menggunakan trade remedies telah memiliki badan pengamanan perdagangan sendiri di luar kementerian, seperti India, Malaysia, Turki dan Amerika Serikat.
"Jadi seharusnya, KPPI, Kadi, Biro advokasi Perdagangan, Direktorat Pengamanan Perdagangan, Direktorat Perundingan APEC dan Organisasi Internasional, kita bersatu jadi satu badan," ujarnya.
Capaian Pengamanan Perdagangan Indonesia pada 2018
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kasus/sengketa Negara terkait Ekspor terselamatkan (juta US$)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Antidumping kertas berlapis India 59,39
Antidumping filamen nilon India 22
Antidumping serat poliester India 10
Sunset review antidumping melamin India 2,2
Eternit gipsum polos India 1,14
BMAD dan BMI kertas tertentu Amerika Serikat 225
Delisting karagenan/rumput laut Amerika Serikat 207
Eksklusi berbagai produk Amerika Serikat 4,22
Investigasi antidumping rebar Australia 24
Investigasi antidumping baja Australia 22
Investigasi impor aluminium Australia 11,4
Penolakan preferensi canai panas Malaysia 110
Antidumping BOPP Malaysia 6
Hambatan ekspor otomotif Vietnam 170
Antidumping serat poliester Argentina 8,1
Gugatan iklan sawit ITPC Prancis 3,8
Investifasi safeguards baut Afrika Selatan 0,93
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber: Direktoran Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan, 2018